"SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERGABUNG Dapatkan apa yang anda cari di sini, ajang untuk berbagi dan silaturahmi serta mencari solusi"

Minggu, 18 April 2010

Catatan Perempuan Sunyi (sebuah kumpulan puisi)

‘tuk pejuang kesepian (Tan Malaka dan Sutan Sahrir)


Kemerdekaan itu bungkus kami dalam kemaruk
setating cuma tuan hadir dalam pesta semusim
kita bangsa kecil yang dilahirkan takdir
berlama ia mendakwa
sebuah negeri kaya yang tercabik oleh dusta
Bung lihat ; kami mundur ke Lubang Jepang perih oleh masa depan
Kebebasan itu gasing kami pada masa tak berkoma
sesila cuma tuan datang dalam helat sesaat
kita bangsa kuli yang dibesarkan mimpi
jenuh ia melenguh
sebuah negeri makmur yang diselingkuhi oleh pecundang
Bung lihat ; kami hilang tanah pusaka sakit oleh masa silam

Kami lupa kelahiran ; bung ; lupa sejarah

Bukittinggi, 1998


Politikus Tikus

Sendawakah rama-rama melintasi gunung, kali kesekian capung-capung meriap kanak
sehelai daftar dikaburkan matahari, ia pelangi pada awal pagi
Kemerdekaan wahai taman tandus, terbiar sudah oleh alang-alang
sesengak ini asap-asap mengepung tanah yang bukan warisan moyang
doa-doa jadi tawa-tawa
jadi tangis-tangis
tuba kali keruh oleh kesah kasak-kusuk
mari bernyanyi atas nama politik malam pekat
corong-corong jadi tong jadi kosong mencibir
sekawanan gagak gagap di pintu khianat
kepodang atau pipit hanya lukisan seketika buat khabar kabur
maknai wahai kebosanan ini,
pada siang-siang mimpi tiada henti hentak hati
kupu-kupu hai senja, sergap ia dalam janji-janji
tak berbatas-tak berbalas, tak bersempadan-tak berlawan, cuma cumi-cumi cemberut di biru laut ___________yang pias tergadai
Selamat tinggal tanggal tua
kebinatangan sempurna jadi sejarah.
Tapal Batas Riau-Singapura, 2007


Kampanye ye ye

Kemaren ku datang ke lapangan itu
membawa setangkai kembang dan keranda
mencemooh kealpaan
dan mendukung seseorang jadi pahlawan
Ku datang lagi ke lapangan itu
membawa sehelai bendera dan belati
menikam janji-janji
dan berjoget dengan pendusta hahaha hihihi
Lagi ke lapangan itu
bersepi
meludahi
Puih !

Padang, 2004




Sahabatku Seorang Anggota Dewan

Mari meneguk secawan dusta
di pesta sundal lupa waktu
menyetubuhi mimpi, larut dalam birahi politik
mari korupsi cinta yang terjaja
di bilik-bilik kebijaksanaan lelah bergelut dosa
Mari jadi pahlawan
berkencan dengan perdebatan
lunturi bendera dengan gincu perempuan malam
ia pun pahlawan di hati kesekian, kawan

Pekanbaru, 2006


Hai Buruh-Buruh Perempuan

Malam dingin balurkan rela pada keping kota mati
desah bertuan galau oleh kecup perawan
menghela damai yang pergi
pesta ada di masa depan
ranjang ini juga yang memesan dusta wahai gadis manis, atas nama cinta diary kumal oleh nama yang datang dan pergi
Malam panas tak bertanggal mengusung teka-teki
lamur sudah harap pada gunung pada laut
kita sama pulang
melambai daki khianat peluh pejuang
ciptakan sehelai klausul pencinta
perupa penghujung shubuh tersesat
di bilik di telaga aduhai
lentera memanggang siang di semua muara ; takzim berkecupan pembual di batas matahari di mata kekasih
tanpa titik malam berpeluh menjeruji nafsu
Ini bukan kota kita lagi bukan kota mati bukan keping hati, wayoi !

Kediri, 1995



Pada usia yang mengejar gelap, bergelimang dalam titik-titik
tanpa akhir liukan kisah mengarifi tanda tanya
di penghujung sore memandangi waktu melintasi musim
pulang letih, cinta berteka-teki jua

Pada petualang yang pergi terberita, melambai tak sampai
pecundang jarum masa ; mem-bah impian tiada tepi
di dermaga tungguan kasih berkhianat membelakangi kitab suci
harap terbiar, penantian salah labuhan jua

Pariaman, 1997



Pada catatan tak bertanggal kita tuang tinta
sepekat malam oleh tungguan sia-sia
“lelaki berdusta demi sayang !” leraimu
dan engkau terus goreskan alpa pada sajak-sajak kosong
“itu cuma masa lalu !” tukukmu
Tak jua bosan kau tatap sekawanan gagak melintasi musim
“cinta suci hanya ada di cerita picisan !” sanggahku
sepertinya tak peduli akan berita kepulangan
sepasang edelweys engkau lukis buram pada tungguan
tak pasti resah terkadokan
di kisah kasih masa kanak
di rumah di bukit jauh
di petualangan tak bermakna
di matamu ; kasih abadi melampaui musim

Pekanbaru, 1998


tukuk (Minang) = tambah



Cerca ombak yang menghapus batas khayal
tatkala begitu dekat terkunci kebenaran di dingin malam yang tak pulang
terlarang jua laut yang tak pernah diam, gunung yang tak bertanda
janganlah menangis dalam dekapan nasib
toh, sama lelah menghitung langkah
tercatat hampa
bibir kering terlumat kenakalan resah
jadilah kekasih sepanjang semusim
Cercalah mimpi
yang merusak akidah pejalan lurus
jadi pasangan jalang bersimpuh di mihrab lapuk
kita kejauhan cintaNya, adinda !

Pedalaman Riau, 2003


toh = sebutan khas kebiasaan suatu tempat (Jawa) seperti dong, sih
(Betawi)





Masih kucatat dengan merah malammu yang sajikan cerita lama tentang cinta terbiar
selaksa dusta terkemas di sepanjang waktu, hingga ke kamar-kamar kudus
berbaring di sini meng-eja embunmu luruhkan kedamaian, sesaat mabuk dalam gemerlap tanya
gonjong rumah gadangku hanyut sudah dalam amis kalimu
Asing di sini, mencari kesilaman di lain tempat, kupejamkan mata pada pembauran yang tak nikmat

Jakarta, 2005




rumah gadang = rumah adat kebesaran Minangkabau



Ia yang datang
pias oleh waktu
dan cinta ter-eja
jadi pelangi dan musim panas
kasih tak lebih hanyalah memahami ; sayang

Payakumbuh, 1999


(Di Bumi Ruwai Jurai Siwo dan Lancang Kuning)

Hanya tiga gemerlap yang kutemui dalam cerita tak bertitik
di padang-padang luas kugamit rindu pada putihnya merpati
di kebun-kebun nenas menggandai makna songket sampai ke Selat Sunda dan Kota Kembang
pada jejaka ranah yang sumbang menilai, resah menyergap di peladangan tebu
melarikan nasib pada petak-petak umpet di sawit-sawit rendah
terdampar di kota kecil tak bertuan
Aku lari menghindari matahari
berjudi dengan harapan
sampai kini

Bandar Lampung-Pekanbaru, 1997


Bumi Ruwai Jurai Siwo = sebutan untuk Propinsi Lampung
Bumi Lancang Kuning = sebutan lain bagi Propinsi Riau






Seperti inikah cinta yang tergambar dalam desah sunyi yang Engkau lumat dalam waktu
Tak bertanda bendera yang terpancang di perbatasan nisan tatkala mencerca senja
Ia temaram dalam adzan gugahan, entah kapan kekasih membenci dan mengkhianati tungguan
Mari berlama mendapatkan rindu
demi damai yang pergi
kami kembali bersimpuh.

Padang Panjang, 2007









I.
Membiarkan catatan kemaren tak bernoda
adalah sebuah akhir kesilaman
ia makin kumal dalam sesal
dan mutiara itu kugenggam lebih dalam simpuh
dia yang kulafazkan dermaga
adalah sebuah keniscayaan dalam tungguan pasti

Pekanbaru, 2006

II.
Inilah mata yang sebening embun memandang kesetiaan tiada koma tiada jeda di musim yang tak terhitung senyap menggoda sehamparan kisah jadi naïf oleh gerimis di langkan saja hentikan sapa tentang masa lalu menggugat resah yang kita benci di ranjang tak bertuan rindu menjamah malam-malam merajuk hanya karena terbiarnya kasih

Pekanbaru, 2006



Akulah perempuan itu
yang terjepit di julangan Merapi-Singgalang
resah membangkit batang terendam
jengah dibuai angin Sianok
membilang kejahiliyahan di Lubang Jepang dengan kesumat
mencampakkan mimpi di pengap Gua Kamang
Akulah perempuan itu
Pelanjut cendekia rumah bagonjong
Yang bukan minang bukan kabau
Tapi Perempuan Minangkabau
Bukittinggi, 2000

Merapi-Singgalang = nama dua gunung di Ranah Minang
Ngarai Sianok = obyek wisata indah di kota Bukittinggi
Lubang Jepang = lubang peninggalan tentara Jepang yang dijadikan obyek
wisata di kota Bukittinggi
Gua Kamang = sebuah gua obyek wisata di kabupaten Agam, Sumbar
rumah bagonjong = rumah adat Minangkabau mirip seperti tanduk kerbau
Minang = kependekkan dari Minangkabau
kabau = kerbau


Merah yang pias senja ini terhalang
oleh cerca penunggang di perbatasan
slogan kemaren tak lagi rancak bersanding
protes yang lapuk didirus khianat
seorang, ribuan pendusta jadi pahlawan di selembar kertas loakan
sepasang cukup jadi kiblat ; negeri susu yang lahirkan pelacur, pecundang dua musim
bukan, bermusim-musim malah belati mencabik dada
hingga bendera digerek setengah tiang
merah jadi pasi oleh kelam
hitam
masa yang panjang menunggu sang agung
merubah waktu dan keadaan

Jogyakarta, 2004

dirus (Minang) = siram




Ini cuma catatan yang meretas
keluguan mendekap awan terjawab
tanpa tindik pada khayalan terlupa
satu nama paling indah membiru
dusta memburu petualang entah
siapa yang melupakan sebelum pagi terbiar
topeng musim alek nagari bertanya
pada nurani terliar rindu menumpang
sumbang o, mesum kudus yang terlewati enyahlah
kekasih kekal dalam mimpi
mari saling mengingat kenangan menyakiti
hati kita mencariNya.

Pariaman, 1995


alek nagari = pesta rakyat, suatu tradisi di daerah Pariaman, Sumatera Barat
menampilkan aneka kesenian rakyat, selain ajang mencari jodoh
bagi muda-mudi



Bukan seperti ini yang ditunggu, di sandaran kemaren juga terpancang umbul-umbul
bukan pesta yang dimaui oleh sekumpulan capung
tabirnya di telaga atau di awan biru, selipkan pun sepotong bunga pada hamparan hati ; kosong sebuah nama meragu
lama dengan catatan pelangi
Mengapa mesti enggan berjalan di taman yang terlukis di masa kanak
toh, sepadan jua tersakiti masa lalu dengan kemunafikan seorang pacar
Bukan dermaga ini lagi yang jadi soal, lupakan yang terindah dalam hidup
sebatas jalan ini kesakralannya kumal oleh benci tak berujung
maknailah resah pada senyap malam, air mata jadi telaga, jadi awan, jadi bunga
cinta hanya sekali termaklumatkan ; itu yang Dia mau

Mesjid Alun-Alun Bandung, 2003




Sulap sejingga mungkin senja ini
membelakangi mihrab meratapi kekasih
di lorong asing memanggil kesumat
membiarkan waktu merampas kemungkinan
mohon mencicipi resah pada kebenaran
sesaat lalu berpagutan dalam laknat janji
oi, merah pias guratkan di pipi ranum
bidadari di hati mengirap
atas nama cinta kita melukis kitab suci
di pusaran pusara abadi nisan nista tanpa nama
ia bukan pahlawan ; pengkhotbah pesolek
hantu tuhan di hutan hati
doa lampus tanpa makna di sajadah pink
kurinduiMu kurindu

Ponorogo, 1996




Dendamkah engkau pada kekasih
yang melambai dalam kelam, mengimingi rembulan
‘tuk pesta sampai pagi
mencibiri kemeriahan secawan langit
hari jadi pendek karena dosa

“Dia gelapku ; Dia terangku ; datanglah …”

Maninjau, 2005












Biarlah seperti ini
berjauhan melukis waktu tanpa senandung
hadirkan mantra dengan rayuan
segenggam saja meremas kesetiaan tak terkirim
ia berita yang ditunggu, tak jua datang seseorang yang tegak gagah
pada hari lain berpamitan tanpa kesan
Biarlah seperti ini
sepasang merpati terbang menjemput harap
malam-malam panjang tak berkesudahan
tak guna menggugat masa lalu
selesaikanlah lukisan itu wahai penghamba
tentang sendu kasih kesekian.

Batam, 1997




Ingat damai yang terkadokan
di jalan kenangan belati tertancap
dendam pada kering dedaunan
galau melambai saban saat
Ingat dupa yang sangit terbaui
di alam lain menuba iman
benci pada senyuman berkarena
penyamun merubah kitab suci

Tuhan jadi hantu dalam ketaklaziman

Padang, 2001




Pelarian sia-sia, ketika engkau terus memunggungi malam jadi laknat
tidak malam ini saja
engkau piuh keintiman jadi seteru, hai nafsu selumat nafas tiada kekal
bibirmu mengucap kesucian ; sangat jauh
tak tersentuh oleh benderang yang kau temarami
Dia tak pernah lari, tak akan pergi.

Pondok Pesantren Kota Bertuah, 2006










I.
Waktu yang melumuti usia adalah kebengisan dalam cinta tiga keluruhan
Di rumah taklah di bukit jauh, impian terurak sementara
Satu cahaya di tanganmu hai kegaiban terangi bilik-bilik kita yang bersarang laba-laba
cinta hambar timpang
Sajadah seluas dunia menutupi kekeliruan
denganMu kudahaga beria-ia
Malam Pengajian di Kota Bertuah, 2006

II.
Sejauh inikah mencari kearifan
dari pecundang waktu dan hukum kitab suci
hati yang meradang kemudaan segala tanggung
cinta hilang di langit maha luas
tak selaut lagi kesetiaan menunggui sang suci
sang nabi,
segala zaman hiasan pengkhotbah
aku takut kehilangan Engkau.
Malam Pengajian di Kota Bertuah, 2006



Kembang ini yang terkirim kala di puncak tinggi
merahup senyum lelaki
segunung angan jadi pink tak semestinya
mengelabui orang-orang terakrab dengan ikrar tak bertepi
peduli akan dakian lain, seseorang membawa gamang pada riuh sakit hati
teruslah guratkan kenangan di jalan-jalan sedih
di kerlip lampu redup kota yang terlupa
di gerimis mesra masa lalu
berlarian tak bermuhrim
Masihkah akan terus begini, dik ?

Pekanbaru, 2002



Dekaplah aku malam ini
dan tuntaskan cumbu pada sekerat malam
singkirkan bulan pias tak utuh
tubai dosa dengan kasih semaha mungkin
tanpa kata ; tanpa lambaian
Allah.

Pekanbaru, 2001




Sesenyap ini, mengapa mesti menunggu larut
Menujum remang dari misteri langit
Jadilah bintang pada penutup shubuh
Amin.

Pekanbaru, 2001





Selamat malam kejanggalan yang mendakwa
mimpi masa kanak tentang Yusuf-Zulaikha ha hai jauh beda
nama yang tercatat lain di hati
asmara tertahan di sandiwara
resah mengungkitnya pun enggan hoi,
merpati yang tak pernah ingkar
janji ditagih oleh cinta
sumbang sebelum altar senja
yang tak sempat terlukis
tanpa titik
tanpa apa-apa

Pariaman, 1996




Simpan saja kesilaman yang menjerat
mimpi yang terpancung dusta mendakwa
esok berteka-teki
atas nama cinta kita saling melukai

Lepas saja kegairahan yang menyelimuti
musim yang menelikung makna asmara menyungkup
masa depan tak pasti
atas nama kasih kita saling menyakiti.

Bukittinggi, 2004




Inilah kisah
di mata yang jalang
hingga tubuh perempuan terpotong cerita kemasgulan dan kecabulan
mimbar jadi ranjang-ranjang takdir
dimana anak-anak lahir membawa tangkai mawar kering berduri
Inilah kasih
menggeliat bak lintah
hingga menghisap darah teman, tetangga dan saudara
jalan-jalan jadi tempat mesum terbuka
dimana cinta bisa dibeli seharga sarapan pagi
Inilah keluh
orang-orang tolol yang merugi
mengusung bendera putih perdamaian
memasang ditiap pintu rumah, lalu berteriak “akulah pahlawan !”
mengapa kita terus berdiri
di persimpangan jalan lewat para pemimpi
dengan kado kebaikan yang basi
penuh wajah bertanda tanya
Inilah kesah
mencari tumbal kitab suci
dan fatwa pemimpin, ulama yang bertopeng menebar janji dan harapan
memagut surga seraya menyetubuhi kekhilafan
Inilah kutuk
yang dipetik orang-orang kalah, mahkota orang-orang menang
sebagai persembahan sia-sia
bergegas menyambut pulang si anak hilang
lalu mengajak, “ mari berdemo untuk demokrasi !”
Inikah kumpulan orang-orang terbuang penuh kecintaan
membaca berita perang dengan warna terbalik
lalu mengajar para bocah mencintai pelangi
lama, hingga lupa
bahwa pelangi adalah warna-warni belati untuk menikam reformasi
Kasih yang diperebutkan
ada di nirwana di pangkuan malaikat
bukan pada roman-roman lembut yang dihujat dan kekeh perempuan mengajak tidur dalam kesemuan
yang terbaik sendiri terkadang jadi pengkhianat

Gresik, 1999




Sedini mungkin hadir di kaki langit
tersimpan di saku kejenuhan yang memudar
oleh senyum perawan Maryam
usah terlupa oleh kerlip muasal peradaban
padahal engkau tahu kecupan cinta tak pernah usai
Lahirlah lelaki itu menyebarkan kasih sepanjang jalan dusta
petualang atau pecundang ; jangan kau gelari, itu hanya perdebatan kini
dan Engkau tersenyum ke lukisan matahari senjang di dadaku
sebagian semaian Nabi besar bersemi
Engkau tersenyum
pada sepi dipitami hasrat
hitam putih keadaan tak pernah Engkau berlalu.

Pedalaman Riau, 2004


Jangan mencerca sepenggal bulan di tangan
ketika rindu tergaing oleh shubuh
kesucian mencecar tiada henti
demi kejumawaan dosa jadi serpihan
sangat malu menunggu pagi dengan daki kekalahan

Jangan mencaci kekasih yang merubah mimpi
engkau datang dalam sujud, jauh dari nafsu
separuh perempuan telanjang melambaikan kitab suci ; kau lukis itu
engkau robek – dalam mabuk kentara percintaan
atas nama kebenaran kau mencibir

Janganlah begini
Aku datang engkau menjauh
Lelaki lain tegak gagah dari kejauhan
“ia bukan nabi ; tiada yang bersetia abadi !” dengusmu

Kita cemburu pada Tuhan yang sama.

Surabaya, 2005




Membatas keraguan sepanjang malam
dengan dongeng teka-teki
atau mencubit asa lewat cerita masa kanak
berpijar tak tentu, o mata yang merah bertanggang
menandatangani angan-angan
tergaing
dan tersembul simpul
waktupun lewat jadi kenangan.

Danau Buatan, 1997


bertanggang (Minang) = begadang, jaga sampai larut








Kita melebihi para pencinta itu
bukan, malahan tertinggal oleh kasmarannya Qabil-Iqlima
sambil membaca masa lalu dan kini kudatang
tanpa sederet nama lagi
menepis kantuk dan kejengahan
malam-malam jadi akrab, asing dan melelahkan, kekasih

Jadilah penari diantara sepi
yang mengebat gerak jadi isyarat mahfum
bukan pelukis selintas yang melupakan kenangan
merubah hari-hari bersuasana aneh
Jadilah keabadian
dalam kesendirian, kucatat keistimewaan itu
bukan penggoda di kekusyukan, KEKASIH.

Siak Sri Indrapura, 1997




Jangan helat itu yang terbantah kala di persimpangan jalan kita merenung
menukar payung dengan perahu kertas
“kita ‘kan jadi boneka, lalu berlayar bak Columbus !” sorakmu
Gerimispun belum, guruh suguhkan perlambang perempuan jahiliyah
seraya melangkah menghafal doa-doa penolak bala
Jadilah berdansa dengan pangeran yang kematian tunangan
bukan pengkhianatan, kakanda
bila bibir mengecup lukisan yang sebentar lagi luntur disiram hujan
“musim telah berganti, mari mengakhiri petualangan !” ajakku
Masih belum lupa, ketika rumah-rumahan kecil masa kanak kita doyong diganduli pita pink
Potret utuhnya akan kuabadikan bersamamu saatnya nanti.

Pariaman, 1998

doyong (Minang) = condong, hampir roboh




Akankah sanggup saban malam melewati kesepian
dengan mata sulit terpejam
putihnya kafan bersebelahan dengan tawa perempuan malam
ia layar yang terbuka
menunggu pagi dengan denyut timpang
“berdustalah untuk kekasih !” godamu
Ia layar yang tertutup
di mata beningmu tersimpan jadi sejarah
di mataMu lepas tertelanjangi

Pacitan, 2002


rasian (Minang) = mimpi yang menggoda








Bermukim dimanakah keleluasaan kasih
ketika malam bisu dirumiti oleh kealpaan cumbu
bertanggang dengan hasrat tertunda, bukan kakanda
tapi adalah selaksa lukisan kerinduan
di mata beningmu tiada keraguan tentang esok
Aku lelap dalam isak ketulusan
oh, sesejuk adzan guyurilah aku dengan sayang
bukan gairah yang menuntaskan senandung
Aku malu berkaca pada kerelaanmu
Bermukim di ranjang kita semua kemesraan ini, kekasih !

Kota Bidadari, 1997



bertanggang (Minang) = begadang, jaga sampai larut


( saat prahara republik)

Nama yang mana, sesepuh ; mencemari peradaban
dadu yang berputar, perempuan yang menangis dan tertawa
perlambang dewi yang turun jadi penggoda, bukan di semua benua adalah pemimpi
Kita protes tentang matahari, kematian, harapan
Kebenaran yang mana, pahlawan ; merubah sejarah
pengkhotbah yang terpasung, kitab suci jadi novel dan dongeng
Kita lupa tentang pagi, kekasih, masa lalu
Sumpah demi apa, Tuhan ; boneka oleh perjalanan waktu
Tiada titik
Tiada titik

Jakarta, 1998






padahal bukan purnama
demonstran pesta kesangsian
dan orang-orang pulau bernyanyi mengusik cinta
ada yang mabuk serta birahi sepanjang hutan Sipora
mengarak poster log rebah jadi perawan bugil menggoda

padahal bukan waktunya
koran-koran jadi ranjang berderit
memberitakan persetubuhan suka sama suka
merajah undangan jadi lukisan menantang

padahal bukan kerinduan
perantau berkata, pulang !
dan bocah pantai kehilangan gairah main sembunyian

padahal isyarat musim silih berganti keliru dimaknai.
Kepulauan Mentawai, 1996

Sipora = nama satu daerah di Kepulauan Mentawai (Sumbar)
log = kayu bulat yang dipotong berdiameter 30 cm ke atas



Belah diriku di kamar suluk
meniti terengah ‘tuk sekedar berjabat
memuji dan melenguh
Sepi kudus kudialogi
tak ada lagi darah, sebab ia telah pergi untuk menetes
jadi semua untukMu
Biarlah terus kubersila miring, bila beringsut takut
jejakku jadi hitam
Tuhan
Allah

Ponorogo, 1999


(Seharusnya untuk Amira Salsabila Alamsyah dan Kamiliya Zahra Alamsyah)

Inilah kacio yang berukir Iskandar yang Agung
moyang kita tiri oleh tambo dusta
yang bundamu pegang jadi bekal
bukan ‘tuk memenuhkan kekosongan agar malam terus kau panggil bulan
buatlah suluh sendiri
malam kita berlainan karena mata beningmu menabung kesucian yang berlaku dimana-mana
Tak usah sedih menatap lukisan perantau berniaga
ia warisan leluhurmu
Jangan desak bapakmu bercerita, karena ia takut salah
tentang tabuik
tentang pitih panjapauik
tentang peringatan maulud
tentang Anggun Nan Tongga
ukirlah masa depan ranah kita yang tak punya rumah bagonjong
Ha ha, jangan gugat Bundo Kanduang dari desain mami tiri modern di sinetron tak membumi
Cinta penyebabnya membuat kita menujum perpisahan
dari cerita lama negeri asing yang ada di dada
Ah, maafkan kami, Nak
bila istana tak kau jumpai sepanjang debur ombak
telah lama telapak kami geli didakwa pasir
hingga sebatas nisan kakekmu, buyutmu
melingkari impian agar engkau menulis asa kami di hati tetangga
dengan bendera ranji yang tak kau fahami
tulislah sajak, bukan dongeng
Jangan tuntut bundamu menjelaskan, karena ia takut khilaf
tentang palasik
tentang juadah dan sikunyik
tentang cimutu
tentang tanah pusako
jelanglah kebenderangan dari tapal batas ranah kita yang menyempit dihapus waktu
Tak usah berkecil hati bila Gunung Tandikat yang Bunda ceritakan dijepit oleh Singgalang dan Merapi
atau protes bila galembong dan tikuluak hanya pakaian ke sawah
Nak, tolonglah hirup udara pagi di pematang
selapang dada budaya kita membentang, tolong tulis negerimu yang bakal tak ada dalam atlas dunia
Sepanjang sepi terbuang kami mengais catatan tak bertanggal
lamurkan stasiun kereta api tua jadi plaza
Nak, tak usah mendayung lagi, engkau bersisian memegang kembang di titian sampai ke Pulau Angsa Dua
duduk di anjungan tinggi mengharap pinus selebat musim buah
aroma sate bersanding pizza
di pusat kebenaran terbit (Ulakan) seletih berlari mesjid menjulang langit
kita sepedataran dengan orang gunung, orang dari seberang
Jangan paksa bapakmu menerangkan, karena ia takut keliru
tentang indang
tentang rabab
tentang randai
tentang salawat dulang
baliklah hikayat usang Si Joki dan Baheram
jadi lelucon hukum anak cucu
menggandakan jubah Sech Burhanuddin
jadi berjuta-juta pakaian manusia
E … hei, jangan cemoohkan bila tiap simpang, tiap tikungan, mesjid megah lengang tempat berpesta burung gereja
Inilah kampung ayah bundamu
yang rimbun oleh keadaan hingga rajang lapuknya diusung ke museum
Nak, berkacalah ke matahari Timur dan berlarilah jauh
melewati Gunung Tiga, Gunung Selasih
sampai engkau menjabat tangan bidadari dan menyulap Batang Piaman jadi bandar besar
Goreslah diary sendiri
kenangan kita beda makna karena tawa renyahmu menyimpan kejujuran yang makin langka
Tak usah kecewa bila usai makan malam adik lelaki lajangmu tidur di surau
ia mengikuti kebiasaan moyangmu
di rumah kita sekarang, bulan pias tanpa aroma laut
banyak cerita tersangkut di puteri malu pantai
Hingga kepulangan kita terberita,
masih asing bunyi ketipak bendi, bunyi derit roda pedati
Jangan suruh bundamu memberitahu, karena ia takut rancu
tentang Sidi
tentang Sutan
tentang Bagindo
tentang Marah
Sapukanlah cat pink di Kepulauan Pagai hingga nelayan melambai beda bendera
sapukan cat merah hingga ke Tiku
agar di gelanggang pacuan mereka tidak bertepuk untuk kita
sapukan cat hijau terus ke Lubuk Alung
membuat kerabat lewati portal demi portal untuk menikmati kebenderangan
sapukan cat kuning sampai bermil-mil dari Bukit Tambun Tulang
biar anak-anakpun tak sempat merasai bias air terjun Lembah Anai
Nak, yang engkau tahu kini adalah melukis batas baru seirama waktu
tegak di kota kecil dengan hati masgul
dengan kebesaran jiwa bertanda tanya
Bundamu telah terbang bak capung-capung dan hanya hinggap di tanah bersama satu generasi
Engkau rama-rama, terbanglah lepas, lupa sejarah
pancang prasasti baru sebagai anak hilang
yang pandam pekuburan kaummu ada di banyak tempat
di alam terkembang jadi guru engkau menyauk kebenaran
Jangan pinta bapakmu menafsirkan, karena ia takut alpa
tentang gayuang
tentang tinggam
tentang pamanih
tentang pitunang
Hai, jangan menggambar gedung menjulang
dengan jalan melingkar dilewati kuda beban ; engkau akan ditertawakan anak pedalaman yang jarang tamat sekolah
jangan teruskan dengan latar seorang datuak
berdestar naik jaguar memegang bendera sebuah partai
Lukisanmu akan disensor
(ssst, jangan tiru bapakmu, yang dicari parewa, dimarahi RT, dicaci RW, dibenci lurah, diintegorasi polisi dan ditahan)
karena melukis gadis basaluak dikecup bule berkoteka di sebuah tempat wisata
Nak, mestinya kami kadokan padamu layang-layang ketika rindu
terbangkan waktu malam, beri berdanguang-danguang
agar ia membangunkan kekhilafan
dari waktu yang terbiar
cinta membuka buhul daun pintu
menari dan mahfumlah ; bahwa benar Iskandar yang Agung menyetubuhi kejahiliyahan ranah moyangmu
Suruh para perawan mengganti rok mini dengan jilbab dan baju kurung
suruh para lelaki beranjak dari kedai kopi
menukar kartu koa dan remi dengan Al-quran dan sajadah
jadi bayi peradaban baru
Jangan mohon bundamu mengartikan, karena ia takut dusta
tentang cime’eh
tentang badoncek
tentang KIM
tentang Buaian Kaliang
Hei, jangan berang ketika potret Ungku Saliah berdampingan dengan artis seronok di banyak rumah makan
Rindu yang kami punya dua bahasa
lupa bulan melangkah, satu musim untukmu jua keriangan ini
anggap semua orang adalah kerabat bundamu
ketika Shafar berkotbah
di pantai sampai shubuh, orang tua keriput jalang berciuman
menyeru jin membenci
Cuih ! Para remaja mengejar mesum ke Tapian Puti, Lubuk Bonta, Malibou Anai, Pantai Kata, Pantai Artha, Pantai Mutiara ; sampai ke belakang dapur kita
Nak, jangan tutup mata, tutup hidung
melihat Tuangku suluk di depan macu surau tinggal
membaui kemenyan Labai mendoa
ia adalah simfoni temurun zaman
Jangan bujuk bapakmu memaknai, karena ia takut bohong
tentang Ajo
tentang Cik Uniang
tentang Rawang Tikuluak
tentang ikan larangan
Ah, mengapa mencela nama bulan yang dipestai dengan aneka makanan
anak-anak berpita ungu berebut lamang dan sambareh
kemudian menukar alek nagari dengan ultah dan valentine day
Mari menyalami pakiah yang ratik tagak untuk menolak bala
dusta terbang ke langit
menggeser tugu lama jadi berhala
di kerak nasi pagi arwah tetua menggigil dirantai iblis
laut, langit jadi merah gincu
sama menodai dunia yang maha luas melebihi perkiraanmu, Nak
tak cukup lagi sehelai selendang putih ‘tuk menutupi pelacur bugil terbiar sepanjang pantai
bunga di negerimu enggan dibelai mentari
nyiur berubah rukam membelintangi tepian
Nak,
jangan tersinggung,
bila orang cerita moyangmu orang buangan Pagaruyung
jangan bangga,
bila orang cerita moyangmu turunan ulama Tanah Arabia
jangan terhina,
bila orang cerita moyangmu pelarian bajak laut Negeri Campa
jangan tepuk dada,
bila orang cerita moyangmu turunan Raja Persia
yang mesti engkau tahu adalah zaman kini, tegaklah sebagai generasi baru
pancang bendera kita di semua tempat
seluas jagad engkau tumbuh bak kembang
bila orang bertanya, jawab dan sorakkanlah
“Aku orang Pariaman !
Aku orang Pariaman !
Aku orang Pariaman !”

Pariaman, sepanjang 1999-2002

Catatan : semua kata cetak miring umumnya Bahasa Minang
kacio = tabungan, biasa terbuat dari tanah liat atau bambu
Iskandar yg Agung = Alexander the Great raja besar dari Macedonia
tambo = kitab sejarah berisi ranji muasal Minangkabau
tabuik = terbuat dari bambu dan hiasan kertas, refleksi dari prosesi
kematian Husein cucu Rasulullah di Padang Karbala
pitih panjapuik = hantaran saat perkawinan dari keluarga mempelai wanita
peringatan maulud = peringatan saat maulud Nabi Muhammad
Anggun Nan Tongga = cerita rakyat dari Pesisir Barat Sumatera
rumah bagonjong = rumah adat Minangkabau
Bundo Kanduang = ibu tiang rumah tangga
palasik = ilmu hitam menghisap darah anak-anak
juadah dan sikunyik = penganan dan nasi kuning
cimutu = badut yang dibungkusi tubuhnya dengan dedaunan
tanah pusako = tanah tumpah kelahiran, kepemilikan suku/puak
Gunung Tandikat = nama sebuah gunung di perbatasan Pariaman, Sumbar
Singgalang & Merapi = nama dua buah gunung di Bukittingi, Sumbar
galembong = celana pesilat Minang yang longgar
tikuluak = selendang perempuan
plaza = indentik dengan pusat perbelanjaan
Pulau Angsa Dua = nama pulau di perairan Pariaman
sate = sate khas Pariaman berkuah tepung beras
pizza = makanan dari Italia
Ulakan = nama tempat di Pariaman mula Islam masuk
indang = kesenian daerah Pariaman dengan rebana kecil
rabab = kesenian dari Pesisir Barat Sumatera mirip biola
randai = kesenian dari daerah Pariaman
salawat dulang = kesenian di Sumbar sebagai media dakwah Islam
Si Joki dan Baheram = cerita dari Pariaman tentang hukum gantung
Sech Burhanuddin = ulama besar penyebar Islam di Minangkabau
rajang = jembatan gantung
Gunung Tiga = nama gunung di VII Koto, Pariaman, Sumbar
Gunung Selasih = nama gunung di VII Koto, Pariaman, Sumbar
Batang Piaman = sungai yang bermuara di Pariaman, Sumbar
surau = mesjid, langgar
Sidi = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Sutan = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Bagindo = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Marah = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Kepulauan Pagai = Kepulauan Mentawai, sekarang jadi kabupaten sendiri
merah = warna kebesaran bendera pacu kuda untuk daerah Agam
Tiku = nama suatu tempat di perbatasan Pariaman-Agam
Lubuk Alung = nama kota yang ada di Kabupaten Pariaman
Bukit Tambun Tulang = bukit legenda penuh timbunan belulang di Lmbh Anai
Lembah Anai = daerah batas antara Pariaman-Padang Panjang
gayuang = ilmu hitam menciderai lawan dari jarak jauh
tinggam = ilmu hitam yang membunuh lawan dari jarak jauh
pamanih = mantra pesolek
pitunang = mantra pembagus suara
jaguar = merek sebuah mobil mewah
parewa = jagoan dengan kepandaian bersilat dan lain-lain
basaluak = hiasan kepala perempuan mirip tanduk kerbau
danguang-danguang = suara layang-layang terbuat dari pita/akar kayu
koa = kartu ceki untuk berjudi
remi = kartu untuk berjudi
cimeeh = cemooh, ejekan
badoncek = sumbangan langsung
KIM = nyanyian musik tebak angka
Buaian Kaliang = komedi putar tenaga manusia
Ungku Saliah = nama seorang ulama dari VII Koto, Pariaman
Tapian Puti = objek wisata di Lubuk Alung, Pariaman
Lubuak Bonta = objek wisata di Kayu Tanam, Pariaman
Malibou Anai = objek wisata di batas Kayu Tanam-Padang Panjang
Pantai Kata = objek wisata pantai dekat kota Pariaman
Pantai Artha = objek wisata pantai di Sungai Limau, Pariaman
Pantai Mutiara = objek wisata pantai di Tiku batas Pariaman-Agam
Tuangku = gelar keagamaan di Pariaman
Labai = gelar keagamaan di Pariaman
Shafar = bulan kedua tarikh Islam, bulan ibadah di Ulakan
Ajo = panggilan untuk lelaki yang lebih tua, kakak
Cik Uniang = panggilan untuk perempuan yang lebih tua, kakak
Rawang Tikuluak = nama sebuah tempat legenda anak durhaka di VII Koto
ikan larangan = ikan yang tidak boleh ditangkap sesuai mufakat
lamang = lemang
sambareh = kue serabi
alek nagari = pesta rakyat di daerah Pariaman
ultah/valentine day = ulang tahun/hari kasih sayang
pakiah = gelar keagamaan di Pariaman
macu = tonggak tua/besar dari sebuah surau atau mesjid
rukam = kayu berduri
Pagaruyung = nama pusat kerajaan Minangkabau tempo dulu




Jengah diri di pucuk muda
yang terinjak kala sepotong bulan
belum pamit untuk cinta senjang
di mihrab Allah terbalik
memuja sayatan luka
di jalan ini bidadari sendawa
bermain menggelepar
Perbatasan terhapus oleh jejak pendahulu
Hati yang putih melingkari warna puji dan cerca
bangga bergumam di bibir, bersama
sepi menghakimi, sendiri
titik
noda

Lubuk Basung, 1997

tinggam (Minang) = ilmu hitam yang membunuh musuh dari jarak jauh lewat
media tertentu




Gemetarlah kala pesta bertukar
jadi tawa-tawa orang di luar
karena bukan waktunya untuk perjamuan
sebab pagi telah datang
tanggal gemerlap oleh siraman mentari.

Pariaman, 1995


Ajo = sebuah panggilan khas untuk lelaki dewasa atau yang lebih tua di
daerah Pariaman, berarti kakak atau abang



Inikah cinta yang tertera di jalan-jalan
dibubuhi para demonstran dengan lukisan jalang
menghabiskan suara dan berbantah di persimpangan jalan
menari dan tenggelam dibungkus ambisi
melenyapkan cinta ?
dengan menagih demokrasi pada pidato usang
bukan pejuang yang mengais bulan sekerat roti
sama saja, berteriak atau diam menunggu musim berganti
pasti akan terjadi perselingkuhan melahirkan cinta baru
jalan-jalan penuh spanduk dusta
mencari kearifan ?
dengan memuat protes generasi yang lupa sejarah
bukan kaum pinggiran yang mengusung kekalahan

Inikah cinta yang sia-sia ?

Pekanbaru, 1996



Mata-mata yang sendu
adalah mata yang terluka karena waktu
memihak pada kesendirian
panjang dan menikam sudut kota
Mata yang mencari
kebenaran tersembunyi di polusi corong-corong berita
nyanyian panjang yang melelapkan, tiada mimpi yang diperdebatkan bila terjaga
Adalah cinta yang terakhir
diam oleh cercaan koran-koran tak berwarna
Jadi jutaan mata yang menuntut
Jadi jutaan mata yang penurut
oleh munculnya satu mata banyak makna.

Muara Siberut, 1996



Pagi yang tak lagi punya cinta
Pada biduk, pancuran atau nyanyian kampung
Cinta yang jatuh
ke muara serta dilupakan
Matahari bermata dilambaian, kawan
itu penyebabnya
Di Teluk Jakarta bakal tenggelam sajak tua
atau penari Bali melunturkan hiasan di Sanur dan Kuta
Panggillah perawan desa
lupakan saudara yang tersenyum di semua muara
maknai kerinduan ini
pada hasrat muda yang mengajak berkencan
di hotel-hotel dan rumah kontrakan
terlalu kecil untuk menggamit tanganmu
wahai kota-kota penerima kami yang lelah.

Batam, 1995



Badak-badak
Kijang-kijang
pesta layang-layang
sajian ayam-ayam
lezat dalam hore-hore
di malam-malam dusta
badak-badak, kijang-kijang
memotret capung-capung, menghalau anai-anai
larut dalam yel-yel, di hari-hari hampa
Berpeluk-pelukkan, gamang
Bercium-ciuman, pasi
Badak dan kijang
budak yang malang
ditinggalkan mimpi
dikejutkan sepi

Pekanbaru, 1994


pemberita ini telah ada dalam mamang nenek moyang
sebelum kita berselingkuh dengan kekasih yang mewarnai bendera putih di semua benua
pemberita itu,
entah pahlawan atau penipu
duduk semeja dan berdebat tentang kebenaran
memperkenalkan betina-betina kawan bergunjing
ia juga yang mengubah sejarah jadi dongeng
melahirkan pemimpin bijak

sebelum kita tahu makna cinta
petualang itu yang bersuara menghadang bedil
serta membawa perawan lari
entah pembela atau pemerkosa
menulis tentang perjuangan yang lurus
mengalungkan bunga pada penjahat perang
kita yang menyalin kitab tua untuk undang-undang
di negeri merdeka pesta kesewenang-wenangan
menyeru asal kearifan

Di ranjang kitapun ia menunggu penuh nafsu.



Cinta yang meliuk menikam nasib pada sepenggal malam tiada pamit
Terus menyalami waktu dan melukis perawan menengadah di lorong sunyi hati petualang
Memanah bulan sumbing hampir pagi, adalah petak umpet yang engkau ajari pada kumpulan tuan-tuan rakus berkepala tikus, hai tangan kotormu lebih gemulai dari tarian sumbang mereka yang terhormat

Jakarta, 2006




Tidurlah di ranjang kita yang kusut
sebab peluh malu telah kering
cinta membengis dalam ketiadaan
Tidurlah beralaskan koran
sebab kemiskinan hanya topeng sadar
ramah menuba dalam kepapaan
Tidurlah
engkau engkau
aku aku

Jakarta, 2007




Bunda tua, rindumu tersingkap menggoda sunyi
Berbaring lelah mengulang kisah
Sayang engkau tangisi
Tradisi gagah berbingkai resah
yung, pik ; langkahmu tertarung mencibiri janji
menunduk jengah berkawan kesah
kasih engkau renggangi
zaman berubah dan janganlah kalah !

Jakarta, 2007



Bukan berita burung yang terselubung
ketika sepasang merpati ingkar janji
lalu taman-taman jadi tempat berkencan
lelaki bermimpi tentang seorang peri jadi pacar kesekian
kepakkan sayap membelah keangkuhan
O, pengkhianatan yang mencemari berita
separah asmara “Harut dan Marut”
di semua benua burung-burung merindukan bulan
Adakah yang lebih layak daripada perpisahan
setelah sibuk menggugat cinta
mestikah nyanyian kematian memenggal rindu
ketika Dia melebur semua keindahan taman-taman untuk esok
Kita pun jadi terdakwa oleh cinta yang maha luas.

Pedalaman Hutan Riau, 1997



Cinta telah memberi aku belati untuk menusuk
mata, dada dan separuh surga ; jadi karma oleh ludah bidadari yang dijilat kekasih
mendirus matahari dengan senyum hambar perawan
bukan darah yang memercik pantai, ngarai dan gunung
Birahi tak lagi jadi anugerah suci
Cinta telah memberiku kuas untuk melukis
negeri yang hilang dengan perempuan separuh telanjang
menertawakan kaba sambil menggumamkan doa tolak bala
Ranahku sendiri yang telah disetubuhi dongeng Iskandar yang Agung
Cinta telah mengajarkan aku kebohongan, bunda
tentang kedip mata pedagang, gurau dara melepas selendang dan perantau ingkar janji
jadi basi oleh pesta semusim
Memancang bendera putih, itu yang kubenci !
Cinta membuatku jadi pembunuh

Bukittinggi, 1997
mendirus (Minang) = menyiram
kaba (Minang) = dongeng sebelum tidur/cerita rakyat



Biarlah kuwarnai kelabilan “Qabil”
jadi hiasan destar kekasih dalam mimpi
menawar kesetiaan pada capung-capung
Itu dulu !
Di padang pasir ini jejak hapus oleh angin kemalangan
Biarlah,
musim lapukkan dusta Anggun Nan Tongga
di pantai ini ‘kan ku eja makna cinta
Telah lama sekali, ketika prahara berkubur di Pulau Pandan dan Angsa Dua
Jejaka di ranahku, oi janjimu jadi helai rimbun ‘tuk berteduh
Aku tetap ‘kan jadi nelayan di lautmu
mati dicumbu ombak dan pantai

Pariaman, 1997



Dengarlah bunyi jangkrik malam
menyindir keresahan dan sepi
jadi belati
menoreh sekian luka dan nama-nama buram
dari petualangan tak bermakna
Dengarlah,
lengkingannya memenjara ke-aku-an
hingga menutupi jalan-jalan ‘tuk menunggu janji
malam tak lagi bercerita tentang dongeng kasih kudus
Dengarlah, sampai tertidur dan lupa
bahwa senandung jangkrik terjepit oleh kepekatan
Aku pun membunuh jangkrik itu biar pulas, kakanda !

Pedalaman Hutan Riau, 1999




Kasih yang buta menghitung waktu
berbenah mengelabui kenangan
di ujung jalan sepi menunggu pendongeng
Itu dulu, ketika satu musim saja tercatat di buku harian
Cinta yang tiada habis waktu
Ia cuma datang dan tak pernah pergi, kakanda

Pekanbaru, 1998



Aku telah lama bermimpi tentang cinta yang jadi seteru lewat suara pemimpin
lalu menobatkan gelandang jadi ksatria
berdiri di pinggir jalan merayu pejuang jadi penjaja telur busuk
‘tuk melempari slogan-slogan perdamaian
Serak suaraku bersorak mencegah ibu-ibu memesan batu nisan
lalu melahirkan kebencian dan pahlawan baru
anak-anak pun menggoda tentara agar melelang seragam
‘tuk mengibarkan bendera bergambar tengkorak dan bunga kamboja
Aku lelah, bunda
mengasah pedang dan memetik kembang
‘tuk cindera mata di kuburan yang tak terhitung.

Langsa, 2002




Telah berlalu musim yang kau cari
daun-daun kefasikan gugur
dan jalan jadi ditutupi asap kerinduan
O, pertapa cinta yang tersesat
Kembang Mei layu di bulan ini
“menunggu siapa lagi ?” tanyamu
bukankah tetesan embun bercampur debu
tak bisa membasuh daki kedukaan
“Hujan, turunlah !” pintamu
Pemimpi lupa, di luar telah bermekaran bunga
kuning selalu, mengundang kecemburuan kekasih
kita berpelukan damai menikmati kemarau di bilik yang ditinggalkan pendatang
Lelapkan aku dan engkau di tanah bertuan.

Jakarta, 1998




Seperti burung gereja yang hinggap di mihrab mesjid
memberitakan ke-anarkhi-an dan lelucon
pada hari-hari berkabung
oleh kerinduan senjang tentang akherat
Kita memanggil kekasih untuk diri sendiri

Jakarta, 2004




Pelabuhan ini juga yang terakhir
memintas kepulangan
sudah lupa untuk menunggu seseorang
seperti nama kapal yang terhapus karena waktu
Pelabuhan inilah yang senyap oleh sedu-sedan
karena rindu tertegah untuk melambai
tiada guna membawa bunga dan sapu tangan
kita adalah boneka kayu yang mengapung di laut lepas

Di sini kita bersisian pulang meninggalkan masa lalu

Singkarak, 1997



Sepenuhnya kokokan ayam memberitakan ke-anarkhi-an pada tanah yang tergadai jadi sayembara
penari bertopeng menyanyikan lagu kerinduan akan kampung halaman yang hilang
Tanah kelahiran yang dicari kemudian jadi berita pesta bocah-bocah mungil membikin tapal batas di atas kerbau menyerulingkan kebebasan
Ah !
Kemeriahan akan berlangsung tiap orang akan mabuk dengan berpakaian warna-warni
membawa ayam jantan ke gelanggang untuk diadu dan setuju mengubah kokokan jadi tantangan
“Tanah ini mesti diberi darah !” ujar tetua
“Tak cukup hanya darah ayam, darah kerbaupun mesti tertumpah !” pekik parewa.
Ranah ini akan jadi keramat seperti impian penghayal yang menujum nasib di telapak tangan pelanjut generasi memakai mahkota ; cinta akan tumbuh dibatasi oleh sungai, bukit, ngarai atau hutan ; kampung halaman tertebusi oleh cinta, oleh rindu, oleh para gadis kamek yang menatingkan secangkir arak

Pesta tak akan pernah usai, setuju mengorbankan ayam dan kerbau jadi santapan kemudian menertawakan kejumawaan yang perlahan makin surut
Dendang kehilangan makna berubah jadi ceracauan
Doa-doa berubah jadi mantra lalu ditulis dalam jimat-jimat kecil tergantung pada semua badan jadi cap ke-norak-an
O, cinta yang dilumat masa lalu kerinduan jadi basi kala menatap bulan sekerat roti
Dusta jadi koor bersahaja anak-anak manis yang tak ingin kehilangan gengsi
Lahirkan sajak-sajak kosong tentang keindahan, orang-orang di langkan
di bilik sama mengukir kemunafikan ; kiasan jadi rancu arti
“Gelarilah semua pahlawan !” sorak generasi tua
Ibu-ibu muda sama berlomba membesarkan si buah hati cintanya lebih sepenggalah dan legenda Malin Kundang akan berubah rancak menjadi Malin Kandung

Mencari makna yang hilang di prasasti keunikan di tuah yang dipaksakan
Genderang pesta jadi berlain tingkah melambai sepi
Arca berlumut jadi beringin teduh lalu suluh-suluh semakin banyak menerangi dusta
kita kehilangan saat terindah sebab purnama telah menjadi milik semua orang
“Mari berdansa !” ajak gadis-gadis melepaskan kerudung
Ah !
Jalan-jalan kini penuh kegalauan, cinta terjajakan antara gema adzan dengan pesta yang semakin berwarna
Rumah-rumah berpagar ruyung lampus
Perawan menunggu tak lagi di beranda sambil merenda
“Ia telah kehilangan kenikmatan dalam kesenyapan.” gurau jejaka
“Ia besar dengan dongeng-dongeng !” berita tukang khabar

Menangislah para ibu-ibu yang tak lagi bisa berpantun melelapkan bayi
Kecewalah para perantau menatap bulan sumbing oleh kerubutan asap keserakahan
Tertawalah kekasih penggoda yang telah menggusur tempat kencan kita

Mari terus berpesta di musim kering kebanggan ini atas nama kasih kesucian enggan berselingkuh
Ha hai semua pada tersenyum lembut ketika sekumpulan burung gereja hinggap di mihrab mesjid
“Mulai membosankan !” rutuk seorang lelaki sambil membuka galembong lalu bersafari
“Aku jenuh !” keluh kepala suku sambil melepas destar lalu bertopi koboi
“Sama !” cekikik remaja pria sambil menindik telinga lalu bersubang
“Ah uh ha !” seorang haji bereaksi sumbang
“Berbenahlah, seperti kelabang merangkai bilur keteduhan di satu sandaran agung, jauh dari keriuhan masa adalah kita yang kelu menyenandungkan resah tak bertitik pada satu hentian tak pasti, kemarilah sebelum janji jadi ikrar sakral !” pekik pengkhotbah di mimbar tak berbantah
“Malam ini mari berusaha melukis sepi jadi lebih sempurna dari kemaren, sebab cinta beri nuansa pias pada kelam yang tak bertepi, di mata kita yang bening mengucur sajak kasmaran, sia-sia pada penungguan.
Mari berusaha menyanyikan kesetiaan jadi lebih merdu dari yang kemaren, sebab kasih sayang beri warna kelabu pada gelap tak bermuara, di hati kita yang polos mengalir puisi kerinduan, terbiar pada janji, jangan gantung semua tanpa tali !” sambung penyair kurus di tengah gelandangan yang tak terurus

Ahai !
Makin lama makin meriah
Tinggal segaing lagi bumi ‘kan telanjang diperkosa para penari bertopeng
Ohoi !
Orang-orang berlomba memakukan tanduk kerbau pada pohon manggis kesat
Tak bisa sendawa pada kesenggangan birahi tersedak oleh kenaifan sendiri
Terberitakan ada ; terkatakan tidak
Jengah menganyam hari dengan siluet yang membangkitkan hasrat
“Hu doamu sepi membelai kearifan, junjungan kala mantra jadi makbul dan mahkota itu syah melintasi bantahan suara-suara tersayang, mata resah menapaki teka-teki di jalan panjang berkabut, gamang menggeleng diantara cinta ini dan itu, doa parau memanggil kekasih, pendamping ketika hidup pasti di rumah mungil semu terjawab, menunggu suara bocah-bocah manis !” ujar seorang istri dengan isak tertahan
Petualang berdiri limbung lalu menyela dengan kata rayu hampa makna
“Ayo mengitari malam dengan cumbuan ada atau tiada ; sama berpeluh dengan desahan tertahan sampai shubuh melumat sepi dengan maki ; bayang-bayang kita menari sempurna sama dahaga untuk meneguk impian yang terbengkalai ; bergumul di ranjang tak bertuan !”

Pagi akan datang
Debur ombak dan siraman matahari mengagetkan menggugat masa lalu dengan penyelewengan
Tanah ini tak bercela sepanjang berita tapi mengerontang karena disetubuhi pendatang
Orang-orang berlarian merubah citra dan penampilan
menukar pitunang jadi pecundang
merubah pamanih jadi perisih
mengganti tinggam jadi gumam ; berpotret di depan rumah gadang
“Tidaklah sama,” bantah ulama, “antara telanjang para pendatang dengan telanjang anak nelayan di pantai ini !”
“Tapi kami sama telanjang, Buya !” celutuk seorang anak kecil, “bahkan sama bermain ombak dangkal, sama tertawa tanpa busana !”
Itu lain makna

Lorong-lorong sepi menggurat tanya, riuh hening jadi renung
Adalah mata yang masih jujur berkata ; bahwa tanah ini, pesta ini, semuanya ini, masih milik kita
“Hoi, tanah ini masih keramat !” sorak sebagian
Diam
“Masih tuah sekata !” sorak suara itu lagi
“Tidak !” bantah sebagian suara
“Masih !”
“Tidak !”
“Masih !”
“Tidak !”
“Ma …..”
(mari menjawab sendiri di hati, o upik dan si buyung Ranah Minang)

Frankfurt dalam lamunan, 2006

parewa (Minang) = pemuda/jagoan kampung dengan kebiasaan khas
kamek (Minang) = lincah, cantik dan gesit
koor (Inggris) = paduan suara
langkan (Minang) = serambi
galembong (Minang) = celana pesilat Minangkabau
menindik (Minang) = melubangi daun telinga untuk anting-anting
pitunang (Minang) = aneka mantra pembagus suara
pamanih (Minang) = aneka mantra pesolek
tinggam (Minang) = tikaman lewat ilmu ghaib jarak jauh
siluet (Inggris) = bayangan
rumah gadang (Minang) = rumah adat besar Minangkabau




Mengapa mesti bersitegang tentang pemberontak dan pejuang
karena pada setiap cerita ada dalang, marilah pulang
mengapa lelah berbantah, waktu yang lewat sudah
sebab ada akhir dari sebuah kisah, marilah berbenah

Padang, 2009

PRRI = Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

CINTA KITA HILANG CINTA (semestinya tentang kita)

Febri Alamsyah
Bermula dari sebuah pertemuan aneh bak mimpi. Engkau datang, membuat sekian kenangan dan kemudian menjauh di tempat yang sulit kurengkuh.
”Aku yang berbaju coklat ...” jelasmu lewat handphone di bandara.
Aku tajam mengamati setiap penumpang yang keluar di terminal kedatangan.
”Q ...” salammu seraya sebutkan nama singkat ketika kumelambai ragu.
Aku terdiam, menatap dengan beragam rasa, dengan bejibun tanya. Kaku kupersilahkan engkau ke jeep tua antikku, lalu mengajakmu berkeliling kota. Hai, segalanya berjalan begitu cepat, kota kecilku sebagai penghasil minyak di jantung Sumatera terasa semakin sempit. Sekian sudutnya telah terjelajahi dalam hitungan menit.
”Walau samar, aku telah mengenalmu lewat sekian tempat yang kita kunjungi !’ simpulmu ketika kusuruh beristirahat di gubukku di batas kota, dengan kondisi centang perenang tak tertata.
Aku hanya tersenyum, senyum yang selama ini mengirap entah kemana. Ya, sejak perjalanan hidupku terluka, karena hilangnya cinta oleh takdir Yang Maha Kuasa. Dengan caraku yang dosen komunikasi, aku telah membawamu ke kampusku, ke tempat makan favoritku, ke sekolah dua bidadariku dengan pergaulan sedikit ”borjuis” para orang tuanya. Dan engkau perlahan mengenalku, kita jadi tak asing dengan mengenal lingkungan masing-masing.
”Rumah ini perlu sentuhan tangan seorang wanita !” tukasmu tanpa sungkan membersihkan tempatku yang awut-awutan, semuanya engkau basuh, karpet lusuh, sudut kumuh dan tuhan ... itu membuatku tersadar lagi akan kehidupan normal.
Semua mengalir begitu saja tanpa direncanakan, sampai semangatku timbul mengajakmu menghabiskan liburan di tempat aku dilahirkan. Sebuah ranah indah dengan budaya matrilineal yang hampir punah.
”Cinta membuatku jadi pecundang ...” engkau mulai berterus terang tatkala pagi dengan dingin mencucuk di pelataran ”Jam Gadang”.
Seperti biasa, aku hanya diam menyimak keluhmu. Betapa tak bersahabatnya cinta kala tulusnya teracuhkan. Engkau dengan keceriaanmu ternyata menyimpan lara yang bertimbunan.
”Aku letih oleh kesetiaan yang berakhir perih ...” tukasmu lirih, kala di ”Lereng Gunung Sago” yang diselimuti kabut putih.
Aku menatap hiba padamu yang bersimbah airmata, betapa berat duka yang engkau tanggung, betapa aku ingin singkirkan semuanya tapi sungguh aku amat canggung. Entah darimana aku harus memulainya, aku jadi bingung ...
”Hari-hariku adalah hari-hari yang risau ...” tukukmu galau kala usai shalat berjamaah di tepi ”Danau Maninjau.”
Entahlah, aku begitu bersimpati padamu. Tentang masa kecilmu yang dirundung susah, tentang pemberontakan di rumah, sampai akhirnya tentang kisah kasih yang berakhir terberai seperti remah.
”Hatiku sansai oleh kasih yang tak sampai ...” isakmu dengan airmata berurai kala di ”Air Terjun Lembah Anai.”
Aku jadi tak tahan melihat kesedihan, makin banyak kutahu, makin ingin kulindungi engkau. Ceritamu tentang tinggal di rumah yang tak ramah, hidup bagai terjajah, membuatku gundah. Aku sangat ingin semuanya berubah !
”Aku ingin pergi dari situasi yang membuat sesak, aku sudah muak ...” ujarmu di sela isak, saat sore di pinggir ”Danau Singkarak”.
Kubiarkan engkau menumpahkan segala keluh kesah, kutak ingin hanya kau sekedar bersandar di bahuku, aku ingin dekap engkau untuk melebur segala susah, membawamu lepas dari masalah. Sungguh tak kunyana, kehadiran cinta masa lalu dari orang yang kau cinta, suguhkan tuba.
”Aku ingin hidupku kembali nyaman ...” pintamu putus asa di ”Pantai Pariaman.”
Kurangkul engkau dengan hiba, kubiarkan engkau lelap di malam-malam yang terlalui dalam igau yang mulai reda, ‘kan terus kujaga. Perlahan tapi pasti, hati kecilku berdetak lain, aku ingin sudahi segala cerita dengan berakhir indah, sangat ingin malah. Dalam setiap shalat mulai khusuk berdoa, semoga pencipta kembali sua-kan hati yang pernah kusut masai karena asmara bertragedi.
“Aku besok pulang ...” sentakmu kala larut di “Pantai Padang”.
Aku terkesiap, sungguh tak siap. Putusanmu tak berubah walau telah kudekap erat. Huh, perpisahan selalu hadirkan hal yang tak sedap.
Betapa inginnya aku menahanmu, menawarkan sebuah naungan dalam pengertian lebih, mengajakmu bersisian menelusuri perjalanan masa depan. Sebuah pengharapan yang mungkin berlebihan.
”Terimakasih untuk segalanya, Uda ... aku pulang ke Jakarta !” pamitmu pagi buta di bandara kota yang baru diamuk gempa.
Aku hanya bisa memandang gamang, kala pelukmu merenggang ...
Hatiku kembali lengang !
Pekanbaru-Padang 2009
Desember akhir bernuansa getir

Judul Cerpen yang lain :
Bung !

Selasa, 13 April 2010

Munas IV

dosen febrisantaimasih muda

Jumat, 01 Mei 2009

BUNG

BUNG !

Febri Alamsyah

“Bung yang terbaik diantara sekian kandidat politik !” sang ketua partai menepuk pundaknya dalam jumawa licik.

Ia tersenyum miris, sebuah cek yang diserahkannya bertitel sumbangan adalah hasil hutangan. Atas nama pengembangan partai dengan imbalan nomor urut jadi calon legislatif didapatkannya.

“Bung telah bangkitkan batang terendam, komunitas kita banyak dalam hitungan, tetapi berserak saat pemilihan. Kita harus ikat buhul persatuan itu dengan Bung sebagai ikon !” ketua partai berpidato berapi-api dihadapan banyak kader yang memenuhi kantor sebuah ruko yang mati-matian ia kontrak setahun yang baru dibayar enam bulan.

“Yang penting Bung harus dapatkan suara pemilih 30 % dari quota, Bung akan melenggang ke parlemen !” berbuih sudah mulut sang ketua partai menyakinkan, bahkan dengan memegang tenggorokkan segala.

Sang kandidat legislatif cepat arif dengan bahasa isyarat itu, sok parlente tapi dengan hati mengumpat dihubungnyai rumah makan langganan untuk memesan minuman.

“Bung harus turun ke bawah, sosialisasi ke massa akar rumput. Bung harus atur jadwal agar lebih dikenal. Jemput bola, ya sekarang kita harus jemput bola ; kalau perlu meniru Obama presiden Amerika itu, mengetuk tiap pintu warga !” semangat sang ketua makin menjadi setelah menyeruput jus yang baru tiba.

“Hm, rokok pun tinggal …” si ketua meraba kantongnya yang jelas kosong.

Dengan kearifan terpaksa si Bung mengeluarkan uang seratus ribu, “Belikan rokok !” perintahnya pada seorang kader yang wajahnya layak disuruh.

“Semua bos !” timpalnya basa-basi tak perlu.

Si Bung mengangguk kecut.

“Pencitraan, ya pencitraan ; Bung harus kita poles. Media massa harus kita kuasai. Saat ini Bung harus jadi berita, paling tidak seminggu sekali agar nama Bung lekat dibenak warga. Makin mendekati pemilihan makin sering kemunculan Bung di media. Saya puya kenalan banyak wartawan dan jurnalis tivi, soal biaya bisa dirundingkan dengan mereka !” semangatnya makin menjadi, apalagi setelah menghisap rokok.

Yang lain mengangguk-angguk seperti kerbau dicucuk hidung. Minuman yang baru datang tandas seketika, kantor partai berlantai dua itu dipenuhi hampir seratus orang penggembira.

“Hm, sudah tinggi pula matahari, sudah berbunyi pula kampung tengah !” seorang yang pakai jaket partai kedodoran bersuara.

Si Bung sang kandidat legislatif tersindir telak, ia juga merasa sama. Lapar karena sedari tadi mendengar ocehan sang ketua partai. “Ya, tolong antar seratus bungkus !” pesannya lemah pada restoran langganan dengan menahan carut di hati.

“Kita harus curi star, paling tidak Bung harus telah mulai dengan mencetak kartu nama. Saya pun punya kenalan untuk urusan ini, makin banyak dicetak makin murah harganya !” sang ketua partai masih menyempatkan bicara disela decak lahapnya menyantap makanan.

“Tidak kartu nama saja, ini momen yang tetap saat pergantian tahun. Kalender yang memuat photo dan pesan politik bernas Bung harus kita cetak dan diedarkan cepat pada pemilih potensial. Saya punya peta pemilih potensial pada daerah pemilihan yang Bung ikuti !” seorang tua yang dikenal sebagai penasehat partaipun ikutan nimbrung, mulut ompongnya belepotan remah nasi, tak sedap dipandang.

Si Bung terdiam dengan beragam fikiran, kepalanya penuh dengan hitungan angka-angka rupiah yang akan dikeluarkan.

“Bung tidak usah cemas, kalau di “menej” dengan baik, percayalah apa yang Bung inginkan untuk duduk di kursi dewan akan kesampaian !” si ketua partai memangkas kisruhnya.

Si calon legislatif tersenyum masam.

“Awas, tolong beri jalan .... !” terdengar ramai teriakan.

“Itu wartawan dan kameraman tivi, tolong beri luang ….!” Suara lain bising terdengar.

“Hm, untuk ini saya sudah kondisikan agar Bung diekspos media !” si ketua partai mengedipkan mata.

Si Bung gagap tersedak, merapikan rambut dengan hati mengkerut ; walau semula sudah terbayang olehnya konsekwensi terjun ke politik, tapi tidak se-mendadak ini.

Dan wawancara itu berlangsung dengan monopoli bicara ketua partai, tentang janji, tentang keinginan mengisi demokrasi, penuh basa-basi.

“Ssst, biar komentar Bung besok menggigit dan jadi headline tolong sekedar uang transportasi pada si wartawan !” ketua partai berbisik menyodorkan amplop kosong.

Dengan diam-diam ia mengeluarkan isi dompet yang sudah mengempis dan mengisi amplop yang disodorkan.

“Hm, saudara-saudara separtai dan seperjuangan. Kita harus sama rasa, sakit senang kita tanggung bersama, ke lurah sama menurun ke bukit sama mendaki. Tak mungkin kita biarkan si Bung yang kita cintai ini menanggung semua biaya dan sibuk sendiri. Kita harus punya andil, kita harus berkorban ….” Si ketua partai berpidato kencang ketika wartawan telah pergi.

“Kita akan meriahkan kota ini dengan bendera partai kita, biar orang tahu, walau kita partai baru tapi akan diperhitungkan. Jadi, kita harus pancang bendera di jalan-jalan utama dan sampai ke gang-gang. Terutama di daerah pemilihan Si Bung ini. Saudara harus bantu untuk memasang bendera tersebut di semua tempat yang strategis. Untuk biaya sablon yang irit saya sudah kondisikan, yang penting untuk Bung, uang muka saja dulu ….” Ketua partai ngos-ngosan sambil melirik pada Si Bung sang kandidat legislatif.

“Ya, ya …. Kami akan bantu ! Yang penting bendera dan tiangnya disediakan !” seorang yang bertubuh ceking membalas dengan antusias.

“Bung dengar, betapa siapnya kader kita membantu. Yang penting Bung bayar uang muka cetak bendera saja dulu ….” Si ketua memancing uang keluar lagi.

Si Bung malu hati, seratusan kader dan simpatisan siap berkorban, siap pancang bendera dimanapun. Tapi wajahnya meringis, teringat isi dompet yang menipis. Di desak di depan orang ramai Si Bung juga tak ingin kehilangan gengsi, walau dalam omel di hati disuruhnya sekretaris partai yang sudah dikenalnya untuk mengambil uang sisa di ATM dengan menuliskan nomor PIN, ia sudah percaya, mungkin itu uang terakhirnya yang ada di ATM.

“Oh, ya …. Bagaimana koordinasi dengan pengurus pusat, jangan sampai lupa !” penasehat partai, lelaki tua ompong mengingatkan sang ketua.

“Ah, hampir lupa karena begitu semangatnya saya ingin mendudukkan Bung kita ini !” ketua partai coba memegang ponsel bututnya. “Eh, maaf Bung, lagi PH, pulsa habis he he … Bisa pinjam ponselnya untuk menghubungi pengurus pusat !” ketua partai pinjam ponsel Si Bung kandidat.

Dan dengan bahasa yang dibuat se-trend mungkin, sang ketua bicara ini-itu dengan pengurus pusat, penuh semangat dan selalu merasa sanggup membesarkan partai, siap berkorban demi partai sampai titik darah penghabisan. Dan tut … tut percakapan putus, pulsa pun habis karena kelamaan bicara.

“Tidak apa, kita sudah dapat arahan. Jaket dan baju kaos partai akan di kirim dari pusat. Kalian harus pakai dan bagikan pada pemilih potensial nantinya. Biaya jaket dan kaos akan ditanggung secara proporsional oleh para caleg yang maju, termasuk Bung kita ini ! Kita bangga dan salut pada Bung ini yang rela berkorban tanpa pamrih !” ketua partai memuji menghantam.

Si Bung menarik nafas berat, beban fikiran juga berat, dicobanya tersenyum dengan merasa diri sudah sebagai wakil rakyat. Pujian ketua partai membuatnya terbuai. Ia ingin menampilkan sikap sebijak mungkin, walau duit di kantong sudah tak ada, ia coba tetap wibawa.

Ia mohon pamit, bukan karena apa-apa, karena ketiadaan duit, ia masih mencoba meneriakkan yel-yel partai saat menuju mobil dengan kening mengerinyit.

Siang garang memanggang, si Bung cepat menghindar dari kantor partai yang menguras isi sakunya jadi kerontang.

Tiba-tiba mobilnya berjalan terangguk-angguk. Ah, ia melirik tanda menyala merah BBM, tandas … Ia menepikan mobil dengan keringat menderas. Lupa, karena buru-buru tadi pagi untuk menepati janji di kantor partai, ia sampai tak sempat mengisi bahan bakar.

Ampun, ia menyalahkan diri sendiri. Mobil mogok, surat-surat mobil ini pun telah tergadai, duit di dompet pun ludes demi gengsi. Si Bung ingin telepon istrinya, walau tahu perempuan itu akan mengomel karena kemaren ia merayu untuk menjual gelang emas satu-satunya, yang duitnya ia masukkan ke tabungan, yang barusan ludes untuk uang muka bendera dan kaos partai.

Busyet, ponselnya tak bisa digunakan untuk meminta bantuan istrinya karena pulsanya habis di pakai ketua partai untuk menghubungi pengurus pusat tadi. Ia terduduk lemas. Meracau tak puas.

Tiba-tiba ponselnya berdering, ada nomor yang tak dikenalnya memanggil. Mana tahu bisa minta bantuan, sigap diangkatnya.

“Halo, maaf saya ketua partai, ini nomor kawan saya pakai. Eh, Bung ada yang saya lupa tadi, untuk kedatangan pengurus pusat empat hari lagi tolong Bung bantu tiket pesawat cuma-cuma delapan orang …… “

Si Bung lunglai.

“Bung …. Halo Bung ini demi partai ….!”

Si Bung terkulai.

“Bung … Halo Bung ….. ?”

Si Bung jatuh tupai eh …. tapai !

++++++====++++++

Buat seorang kawan,

kandidat dewan yang terhormat,

Jakarta, akhir Desember 2008.

Telah Terbit Sebuah Buku Perburuhan yang enak dibaca dan menyentuh berbagai aspek ketenagakerjaan


Hallo semuanya,
Khabar gembira tentunya, telah terbit sebuah buku yang berjudul "SALAH PAHAM PEKERJA DAN PENGUSAHA", sebuah buku yang mengupas berbagai aspek ketenagakerjaan dengan bahasa yang enak dibaca tanpa melupakan substansi yang dibahas. Memanglah sebenarnya soal ketenagakerjaan adalah masalah pelik yang bak mengurai benang kusut yang tiada selesai di republik kaya yang pekerjanya tak jua kunjung sejahtera ini. Terus berbenah dengan sekian aturan dan regulasi dengan hambar implementasi.
Buku perburuhan yang ditulis oleh buruh tersendiri jarang tersua, baca dan renungilah isinya. Sebab seperti kata penulisnya,
"Kita para pekerja atau buruh mesti menikmati"kemerdekaan" yang sesungguhnya. Merdeka dimana "kesejahteraan" yang kita impikan itu terwujud, merdeka dalam suasana negeri yang aman dan makmur. Kita "merdeka" dan menjadi tuan di negeri kaya yang berkelimpahan ini. Karena sesungguhnya, siapapun kita, kita semua adalah pekerja atau buruh ; mari sama berjuang untuk "kemerdekaan sejati" itu
!

Cocok dibaca berbagai kalangan ; masyarakat umum, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, dosen, mahasiswa dan lain-lain

Keterangan :
Judul buku : SALAH PAHAM PEKERJA DAN PENGUSAHA
Penulis : Febri Alamsyah
Pengantar : Prof. DR. H. Tabrani Rab
Penerbit : Yayasan Sang Kelana
Tebal : 102 halaman
ISBN : 978-979-17555-04
Harga : Rp 19.900,- (belum termasuk ongkos kirim)

Untuk pemesanan hubungi
email : febri_alamsyah@yahoo.co.id
atau telp/fax ke (0761) 562103, 081276721799

Terimakasih


MENYIGI UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) DI INDONESIA


Mendekati tiap akhir tahun, di Indonesia, yang mungkin jadi perhatian buruh adalah soal Upah Minimum Propinsi yang ditetapkan Gubernur yang efektif berlaku nantinya tanggal 1 Januari atau awal tahun. Menarik untuk dicermati, karena dari penetapan ini paling tidak bisa diketahui potret perkembangan usaha dan investasi, juga tingkat pendapatan yang sering dikaitkan dengan kesejahteraan di kalangan masyarakat, terutama kaum buruh atau pekerja.
Menilik beberapa contoh propinsi di Indonesia, Riau termasuk salah satu propinsi yang geliat ekonominya cukup bergairah dan merupakan tanah impian bagi para pencari kerja, begitu juga dengan Kalimantan Timur serta Papua. Sebaran industri, pertambangan, perkebunan, perkayuan dalam skala menengah dan besar yang hampir merata di beberapa kabupaten membuat kota-kota di propinsi tersebut berkembang dengan mayoritas penduduknya adalah pekerja di berbagai sektor di atas. Belum lagi industri kecil dan kelas rumah tangga, Daerah seperti itu memang dipenuhi oleh masyarakat industri dengan segala permasalahan yang mengikutinya. Kembali menyoal UMP di Indonesia, tentulah jadi perhatian.

Rekomendasi Dewan Pengupahan
Mekanisme penetapan yang mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 1 tahun 1999 tentang Upah Minimum, dimana Dewan Pengupahan Provinsi telah melakukan survey untuk mengetahui tingkat Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di beberapa tempat di Propinsi. Penghitungan itu selaras dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 226 tahun 2000 dan terbaru adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 17 tahun 2005 yang mengatur tentang perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tadi.
Dewan pengupahan yang terdiri dari berbagai unsur seperti yang diwakili oleh Asosiasi pengusaha, wakil Serikat Pekerja/Buruh, pemerintah dengan institusi kerja terkait seperti Dinas Kerja, BPS, akdemisi dan lain-lain. Hasil kerja Dewan pengupahan propinsi inilah yang merekomendasikan kepada Gubernur sebagai bahan pertimbangan dan saran untuk UMP tipa tahun. Penetapan UMP tersebut dituangkan lewat keputusan Gubernur.
Terlepas dari tarik ulur berbagai kepentingan, yang jelas amanah undang-undang itu telah dijalankan, seperti di Propinsi Riau dengan telah dikeluarkannya Peraturan Gubernur Riau Nomor 27 Tahun 2006 tentang Upah Minimum Propinsi Riau tahun 2007 sebesar Rp 710.000,- (tujuh ratus sepuluh ribu) per bulan. Kemudian pada tahun 2008 sebesar Rp 800.000,-. Propinsi lain juga begitu dengan jumlah yang bervariasi.
Melihat reaksi buruh di berbagai propinsi di Indonesia atas penetapan UMP ini amat beragam. Banten misalnya, terjadi unjuk rasa buruh yang tidak puas dengan keputusan tersebut. Sedangkan DKI Jakarta yang untuk tahun 2007 UMP nya sebesar Rp 900.560,- per bulan pun tak luput dari protes.
SAda beberapa propinsi yang kenaikannya UMP nya bisa diterima dengan baik oleh kalangan pekerja atau buruh, di beberapa propinsi lain terjadi “penolakan” seperti yang telah ditulis di atas.

Peraturan Versus Realita Lapangan
Walau penetapan tersebut belum mengakomodir semua kepentingan, tapi paling tidak sebuah patokan telah didapat. Ibarat gerbong kereta, Upah Minimum Sektoral (UMSP) tentulah akan berlandas kepada ini yang natinya ditetapkan atas dasar kesepakatan Asosiasi Perusahaan dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang terkait di sektor yang bersangkutan. Begitu bagi Kabupaten/Kota yang ingin menetapkan Upah Minimum secara tersendiri bisa mengusulkan kepada Gubernur lewat Dewan Pengupahan Propinsi setelah terlebih dahulu Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota membahas dan menyepakatinya, ketentuannya upah minimum yang diusulkan harus di atas Upah Minimum Propinsi.
Persoalan kemudian adalah penerapan di lapangan yang kadang beragam. Jauh hari kita berharap agar semua elemen yang terlibat mentaati aturan ini. Perusahaan atau pengusaha adalah satu elemen penting yang sangat berpengaruh, dimana ketentuan ini bisa dijalankan dengan sebaiknya. Walau jelas di peraturan Gubernur itu tertuang UMP diberlakukan hanya bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 tahun, tentu kita tidak menjumpai ada praktek-praktek yang berupaya menyamaratakan dengan berbagai alasan, dan tentu yang lebih ekstrim kita tidak ingin menemui ada pengusaha atau perusahaan yang memberlakukan upah dibawah ketentuan tersebut. Prinsip dasar ekonomi syah saja diberlakukan bahwa “menekan biaya sedikit mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin”. Tetapi komponen upah tak tepat bila diabaikan dengan alasan efisiensi. Kita berharap kearifan para pengusaha atau perusahaan untuk menjalankan aturan UMP ini dengan sebaiknya.
Segi pekerja, elemen yang kerap menyuarakan ketakadilan, yang ingin hidup berkecukupan, yang juga ingin paling tidak mengecap kebahagian yang dilindungi undang-undang. Ketika semangat pekerja/buruh yang ingin menjadi tuan di negeri sendiri, ingin sama seperti buruh lain di dunia yang hidup layak berkecukupan. Persoalannya adalah, sumber daya manusia, kemampuan/skill, pendidikan dan daya kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Jujur saja, kaum pekerja kita ibarat pyramid yang bagian bawahnya sarat huni. Hanya lewat kesadaran pekerjalah kelemahan-kelemahan itu bisa diatasi, hingga perlahan UMP yang sering jadi perdebatan sengit ini luruh dan tak perlu dilirik lagi. Kita coba lepas dari buaian bahwa negeri kaya yang bernama Indonesia ini, juga perlu disentuh oleh orang-orang trampil yang tak hanya sekedar kacung atau lainnya berpuas diri dengan kemampuan yang tak sebeberapa.
Pemerintah juga lebih professional dan tak terpaku pada acuan-acuan lama, perlu terobosan-terobosan baru, baik dari segi aturan, faktor manusia yang mengemban tugas, maupun hirau akan kepentingan khalayak dan lingkungan. UMP merupakan satu potret kearifan pemerintah propinsi menyikapi semua kepentingan yang mengemuka. Pemerintah ke depan mesti lebih tanggap lagi menangkap permasalahan yang ada, adalah lebih bijak bila mengatasi masalah sebelum masalah yang besar menghadang. UMP di tiap propinsi juga mencerminkan prestasi pemerintah di mata warganya.

Penutup
Kita berharap Peraturan Gubernur tentang Upah Minimum Propinsi di semua propinsi di Indonesia tiap tahun di sosialisasikan dengan sebaiknya oleh berbagai elemen. baik pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh serta pihak lain diluar itu seperti media . Dan hendaknya juga masing-masing pihak berusaha menjelaskan dengan sebaiknya bila ada pertanyaan, pernyataan sikap dan berbagai penyampaian lain yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kita ingin di Nusantara ini sebagai satu negara yang memulai keharmonisan hubungan kerja dengan cara-cara yang sesuai tradisi ketimuran, “Bersilang kayu di tungku, maka api barulah nyala” dan “Tak ada kusut yang tak terselesaikan” bila “bulat air ke pembuluh, ke mufakat jua bulatnya kata”. Semoga …

NESTAPA BURUH PEREMPUAN


Budaya patriarki dan kedangkalan pemahaman agama telah tempatkan buruh perempuan pada dilema antara tuntutan kesetaraan dengan hegemoni lelaki yang lebih dalam keseharian kehidupan. Perlakuan tersebut tentu saja terkadang mendapat perlawanan dari buruh perempuan sendiri, aktivis perempuan, atau pihak-pihak yang hirau akan persamaan hak. Pergulatan itu makin beragam masalah dalam posisi negeri ini yang berkutat pada penyehatan ekonomi dan politik ; secara aturan hukum, Indonesia telah meratifikasi banyak hal dari aturan PBB soal hak azazi manusia dan kesetaraan gender, katakanlah konvensi ILO nomor 100 tentang kesetaraan upah yang diratifikasi menjadi Undang_undang nomor 80/1957, Undang-Undang nomor 39/1999 pasal 38 tentang Hak Azazazi Manusia dan lain-lain. Tetapi aturan hukum saja tidaklah cukup tanpa implementasi yang baik dan sosialisasi yang memungkinkan keberadaan buruh perempuan diterima dengan baik di negeri ini.

Di beberapa daerah tujuan investasi di Indonesia dimana geliat ekonomi kentara dengan banyaknya membutuhkan tenaga kerja di berbagai sektor, termasuk tenaga kerja perempuan. Baik di jajaran pemerintahan, BUMN, perusahaan swasta dan lain-lain. Persoalannya sekarang adalah, ketika menyigi tentang perlakuan terhadap buruh perempuan, sangat banyak pelanggaran terjadi yang tidak sesuai dengan aturan yang kita buat sedemikian bagusnya. Saya menjumpai masih banyak dunia usaha di berbagai tempat di Indonesia yang tak mau tahu dengan aturan itu sebagai contoh adalah hak cuti haid selama dua hari dalam sebulan dengan mendapatkan upah penuh. ; saya dan banyak lagi dari wakil buruh mesti “bersitegang” dengan petinggi perusahaan , barulah hal itu diperhatikan. Terkadang saya mendapatkan kesan, begitu enteng dan menganggap remeh ketika tuntutan soal hak perempuan ini diutarakan pada pihak perusahaan.

Perempuan ; Kiprah dan Fitrah

Saya taklah bermaksud sentimentil bila mengungkapkan pengalaman berikut ini. Saya lahir dari seorang ibu, perempuan yang sangat saya kagumi ; bekerja untuk membiayai saya sekolah ketika Bapak saya yang pegawai rendahan meninggal karena sakit. Beruntung, saya juga mempunyai seorang istri, perempuan yang saya cinta ; yang bekerja dan berwiraswasta pula serta dikarunai dua anak perempuan yang manis-manis ; saya sangat paham sedari kecil kesibukan, pengorbanan, keikhlasan dan seabrek “kelebihan” perempuan, membagi waktu antara bekerja dan tanggung jawab fitrahnya. Saya sampai saat ini sering merasa sedih bila ada buruh perempuan ; katakanlah mengadu dengan pancaran mata kuyu yang korban PHK, mengurus uang “haknya” di Jamsostek(Jaminan Sosial Tenaga Kerja) tidak bisa keluar karena perusahaan menunggak iuran Jamsosteknya selama sekian tahun ; padahal jelas-jelas di slip gaji di potong saban bulan. Sangat keterlaluan memang ! Atau kejadian yang membuat saya sangat terpukul, ketika seorang buruh perempuan yang bekerja disebuah perusahaan perkayuan yang melahirkan di belantara pedalaman Riau-di atas speedboad kecil yang perlu waktu 2 jam untuk pergi ke Puskesmas terdekat lewat transportasi air, dengan kondisi bayi meninggal di hadapan saya karena tidak ada pertolongan medis, padahal sudah “berbuih” mulut sebagai wakil pekerja mengajukan sebuah fasilitas pelayanan kesehatan pada perusahaan tempat si buruh bekerja. Sangat menyedihkan !

Saya setuju dengan Dita Indah Sari, seorang aktivis buruh perempuan bahwa sistim kontrak memungkinkan hak-hak buruh perempuan terabaikan, ; salah satunya dengan persyaratan perempuan lajang sebagai calon pekerjanya. Buruh perempuan diharuskan untuk tidak menikah atau tidak hamil selama terikat kontrak. Jika ini terjadi, maka kontrak batal dan ia dikeluarkan. Semua ini membuat biaya produksi menjadi lebih ringan, karena perusahaan tak perlu mengeluarkan tambahan biaya untuk membayar upah cuti hamil dan biaya melahirkan.

Persoalan Buruh Perempuan dan Kehirauan Kita

Buruh migran wanita di luar negeri masih banyak meninggalkan persoalan yang terkadang sangat mengusik kemanusiaan kita. Penyiksaan, perkosaan dan pelecehan lain yang terkadang sungguh membuat “harga diri” kita tertohok. Hukum kita masih enak dibahas dalam teori, sangat minim dalam tindakan. Begitu bertumpuknya masalah buruh perempuan di Malaysia, Hongkong, Timur Tengah dan lainnya. Kita bangsa kelas “kacung” yang terlalu lamban dalam membaca tanda zaman. Cukup beralasan apa yang dikatakan La Shawn R Jefferson, Direktur Eksekutif Divisi Hak Perempuan Human Rights Watch ; bahwa pekerja wanita kita yang kebanyakan pembantu rumah tangga diperlakukan seperti manusia kelas dua di Malaysia. Kedua negara harus lebih aktif melindungi hak-hak perempuan.

Belum lagi dalam negeri, mulai dari perdagangan perempuan antar daerah, yang juga meluas pada antar negara. Jam kerja yang tak berketentuan pada buruh-buruh perempuan kontrak di perkebunan, borongan pekerjaan pada sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) perkayuan. Termasuk satu bagian yang sampai saat ini belum tersentuh, yaitu tentang buruh rumah tangga, dengan jumlah sangat banyak, yang sangat rentan terhadap diskriminasi. Atau di sektor-sektor yang selama ini luput dari perhatian kita, tempat hiburan, hotel, rumah makan, transportasi dan lain-lain.

Kebijakan dan Tindak Nyata Berbagai Kalangan

Seperti yang telah disinggung di atas, pemerintah dengan segenap kewenangannya adalah pihak yang sangat diharapkan, tidak saja lewat produk undang-undang hukum yang dilahirkan, tapi tindakan nyata seluruh jajarannya yang terkait agar perlindungan terhadap buruh perempuan dirasakan. Sinergi tataran atas antara Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Kapolri, KBRI, untuk lebih padu dalam hal contoh dalam penanganan buruh migran ; termasuk buruh migran perempuan. Dalam cakupan yang lebih luas adalah memperbaiki pendidikan ; yang merupakan kendala nomor wahid hingga buruh perempuan masih berkutat di pekerjaan-pekerjaan yang dianggap kelas bawah.

Kalangan pengusaha seyogyanya lebih tanggap dan hirau akan nasib buruh perempuan, menjalankan aturan yang telah disepakati dan kalau perlu secara perlahan sesuai dengan kesanggupan memberikan pelayanan yang memadai terhadap terhadap kebutuhan buruh perempuan. Katakanlah kalau di areal kantor untuk lelaki ada “smoking area” atau tempat merokok, kenapa tidak diadakan tempat juga untuk para pekerja perempuan untuk menyusui bayi yang jelas-jelas telah dijamin undang-undang yakni hak untuk mendapatkan waktu menyusui di tengah-tengah jam kerja.. Tempat penitipan bayi dan anak dilingkungan perusahaan/tempat kerja. Atau angkutan khusus untuk pekerja perempuan pada waktu shift malam.

Satu contoh bagus yang telah berjalan di Kota Bertuah Pekanbaru adalah berfungsinya route bus khusus perempuan, ke depan semoga banyak kebijakan lain yang dirasakan oleh kaum perempuan.

Di luar itu adalah makin diharapkan peran organisasi, seperti organisasi perempuan, LSM/NGO dan lainnya dengan masukan-masukan dan terobosan baru untuk meningkatkan taraf hidup buruh perempuan. Berupaya agar perlakuan diskriminatif terhadap buruh perempuan ditiadakan.

Untuk perusahaan yang telah ada Serikat Pekerja atau Serikat Buruhnya ; bisa lebih berfungsi memainkan peran penting untuk perundingan Kesepakatan Kerja Bersama dengan mencantumkan hak-hak pekerja perempuan, mengawasi pelaksanaannya di tempat kerja. Juga jadi pihak yang mengkritisi serta menyuarakan bila komitmen pemerintah dirasa “mandul” dalam melindungi hak-hak buruh perempuan.

Terakhir, berpulang kepada perempuan sendiri ; apakah buruh perempuan mempunyai kemauan untuk merubah citra dan anggapan selama ini ; bahwa perempuan adalah lemah dan mengalah. Mari, atas nama keadilan dan kesetaraan kita sederap untuk merubah tradisi, budaya dan anggapan yang selama ini mendeskreditkan perempuan. Tengok dan belajarlah dari sejarah ; bahwa pertiwi ini sejak lama telah melahirkan perempuan “bermarwah” yang layak jadi ikutan ; raja-raja perempuan Aceh yang dihormati, perempuan-perempuan Minangkabau terkemuka pada zaman kemerdekaan dan sampai saat ini yang lahir dari masyarakat egaliter “matrilineal”, puan-puan Melayu masa Melaka dan Lingga yang berperan penting. Ini abad kebenderangan, andai para perempuan sadar dan mahfum, bila mereka kompak dan bersatu adalah sebuah kekuatan yang sungguh sulit dibendung dan amat menetukan di Republik ini, baik untuk memperjuangkan hak-haknya atau lebih jauh memainkan peran sosial dan politik

Penutup

Saat ini yang terpenting adalah melaksanakan aturan yang kita buat sendiri, berbagai pihak yang terlibat seperti pemerintah, pengusaha, penyalur tenaga kerja, pihak-pihak yang hirau lainnya seperti LSM, organisasi perempuan, serikat buruh/serikat pekerja, termasuk buruh perempuan sendiri harusnya menyadari bahwa tak lagi zamannya ada perlakuan beda terhadap buruh perempuan. Mari menjadi sebuah bangsa yang besar, bangsa yang menghormati dan membela kaum perempuan, karena ia bukan saja ibu bagi pelanjut generasi, tapi merupakan penghargaan kita yang setinggi-tingginya karena kita semua terlahir dari perempuan ; seorang ibu yang di bawah kakinya terletak sorga.