"SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERGABUNG Dapatkan apa yang anda cari di sini, ajang untuk berbagi dan silaturahmi serta mencari solusi"

Minggu, 18 April 2010

Catatan Perempuan Sunyi (sebuah kumpulan puisi)

‘tuk pejuang kesepian (Tan Malaka dan Sutan Sahrir)


Kemerdekaan itu bungkus kami dalam kemaruk
setating cuma tuan hadir dalam pesta semusim
kita bangsa kecil yang dilahirkan takdir
berlama ia mendakwa
sebuah negeri kaya yang tercabik oleh dusta
Bung lihat ; kami mundur ke Lubang Jepang perih oleh masa depan
Kebebasan itu gasing kami pada masa tak berkoma
sesila cuma tuan datang dalam helat sesaat
kita bangsa kuli yang dibesarkan mimpi
jenuh ia melenguh
sebuah negeri makmur yang diselingkuhi oleh pecundang
Bung lihat ; kami hilang tanah pusaka sakit oleh masa silam

Kami lupa kelahiran ; bung ; lupa sejarah

Bukittinggi, 1998


Politikus Tikus

Sendawakah rama-rama melintasi gunung, kali kesekian capung-capung meriap kanak
sehelai daftar dikaburkan matahari, ia pelangi pada awal pagi
Kemerdekaan wahai taman tandus, terbiar sudah oleh alang-alang
sesengak ini asap-asap mengepung tanah yang bukan warisan moyang
doa-doa jadi tawa-tawa
jadi tangis-tangis
tuba kali keruh oleh kesah kasak-kusuk
mari bernyanyi atas nama politik malam pekat
corong-corong jadi tong jadi kosong mencibir
sekawanan gagak gagap di pintu khianat
kepodang atau pipit hanya lukisan seketika buat khabar kabur
maknai wahai kebosanan ini,
pada siang-siang mimpi tiada henti hentak hati
kupu-kupu hai senja, sergap ia dalam janji-janji
tak berbatas-tak berbalas, tak bersempadan-tak berlawan, cuma cumi-cumi cemberut di biru laut ___________yang pias tergadai
Selamat tinggal tanggal tua
kebinatangan sempurna jadi sejarah.
Tapal Batas Riau-Singapura, 2007


Kampanye ye ye

Kemaren ku datang ke lapangan itu
membawa setangkai kembang dan keranda
mencemooh kealpaan
dan mendukung seseorang jadi pahlawan
Ku datang lagi ke lapangan itu
membawa sehelai bendera dan belati
menikam janji-janji
dan berjoget dengan pendusta hahaha hihihi
Lagi ke lapangan itu
bersepi
meludahi
Puih !

Padang, 2004




Sahabatku Seorang Anggota Dewan

Mari meneguk secawan dusta
di pesta sundal lupa waktu
menyetubuhi mimpi, larut dalam birahi politik
mari korupsi cinta yang terjaja
di bilik-bilik kebijaksanaan lelah bergelut dosa
Mari jadi pahlawan
berkencan dengan perdebatan
lunturi bendera dengan gincu perempuan malam
ia pun pahlawan di hati kesekian, kawan

Pekanbaru, 2006


Hai Buruh-Buruh Perempuan

Malam dingin balurkan rela pada keping kota mati
desah bertuan galau oleh kecup perawan
menghela damai yang pergi
pesta ada di masa depan
ranjang ini juga yang memesan dusta wahai gadis manis, atas nama cinta diary kumal oleh nama yang datang dan pergi
Malam panas tak bertanggal mengusung teka-teki
lamur sudah harap pada gunung pada laut
kita sama pulang
melambai daki khianat peluh pejuang
ciptakan sehelai klausul pencinta
perupa penghujung shubuh tersesat
di bilik di telaga aduhai
lentera memanggang siang di semua muara ; takzim berkecupan pembual di batas matahari di mata kekasih
tanpa titik malam berpeluh menjeruji nafsu
Ini bukan kota kita lagi bukan kota mati bukan keping hati, wayoi !

Kediri, 1995



Pada usia yang mengejar gelap, bergelimang dalam titik-titik
tanpa akhir liukan kisah mengarifi tanda tanya
di penghujung sore memandangi waktu melintasi musim
pulang letih, cinta berteka-teki jua

Pada petualang yang pergi terberita, melambai tak sampai
pecundang jarum masa ; mem-bah impian tiada tepi
di dermaga tungguan kasih berkhianat membelakangi kitab suci
harap terbiar, penantian salah labuhan jua

Pariaman, 1997



Pada catatan tak bertanggal kita tuang tinta
sepekat malam oleh tungguan sia-sia
“lelaki berdusta demi sayang !” leraimu
dan engkau terus goreskan alpa pada sajak-sajak kosong
“itu cuma masa lalu !” tukukmu
Tak jua bosan kau tatap sekawanan gagak melintasi musim
“cinta suci hanya ada di cerita picisan !” sanggahku
sepertinya tak peduli akan berita kepulangan
sepasang edelweys engkau lukis buram pada tungguan
tak pasti resah terkadokan
di kisah kasih masa kanak
di rumah di bukit jauh
di petualangan tak bermakna
di matamu ; kasih abadi melampaui musim

Pekanbaru, 1998


tukuk (Minang) = tambah



Cerca ombak yang menghapus batas khayal
tatkala begitu dekat terkunci kebenaran di dingin malam yang tak pulang
terlarang jua laut yang tak pernah diam, gunung yang tak bertanda
janganlah menangis dalam dekapan nasib
toh, sama lelah menghitung langkah
tercatat hampa
bibir kering terlumat kenakalan resah
jadilah kekasih sepanjang semusim
Cercalah mimpi
yang merusak akidah pejalan lurus
jadi pasangan jalang bersimpuh di mihrab lapuk
kita kejauhan cintaNya, adinda !

Pedalaman Riau, 2003


toh = sebutan khas kebiasaan suatu tempat (Jawa) seperti dong, sih
(Betawi)





Masih kucatat dengan merah malammu yang sajikan cerita lama tentang cinta terbiar
selaksa dusta terkemas di sepanjang waktu, hingga ke kamar-kamar kudus
berbaring di sini meng-eja embunmu luruhkan kedamaian, sesaat mabuk dalam gemerlap tanya
gonjong rumah gadangku hanyut sudah dalam amis kalimu
Asing di sini, mencari kesilaman di lain tempat, kupejamkan mata pada pembauran yang tak nikmat

Jakarta, 2005




rumah gadang = rumah adat kebesaran Minangkabau



Ia yang datang
pias oleh waktu
dan cinta ter-eja
jadi pelangi dan musim panas
kasih tak lebih hanyalah memahami ; sayang

Payakumbuh, 1999


(Di Bumi Ruwai Jurai Siwo dan Lancang Kuning)

Hanya tiga gemerlap yang kutemui dalam cerita tak bertitik
di padang-padang luas kugamit rindu pada putihnya merpati
di kebun-kebun nenas menggandai makna songket sampai ke Selat Sunda dan Kota Kembang
pada jejaka ranah yang sumbang menilai, resah menyergap di peladangan tebu
melarikan nasib pada petak-petak umpet di sawit-sawit rendah
terdampar di kota kecil tak bertuan
Aku lari menghindari matahari
berjudi dengan harapan
sampai kini

Bandar Lampung-Pekanbaru, 1997


Bumi Ruwai Jurai Siwo = sebutan untuk Propinsi Lampung
Bumi Lancang Kuning = sebutan lain bagi Propinsi Riau






Seperti inikah cinta yang tergambar dalam desah sunyi yang Engkau lumat dalam waktu
Tak bertanda bendera yang terpancang di perbatasan nisan tatkala mencerca senja
Ia temaram dalam adzan gugahan, entah kapan kekasih membenci dan mengkhianati tungguan
Mari berlama mendapatkan rindu
demi damai yang pergi
kami kembali bersimpuh.

Padang Panjang, 2007









I.
Membiarkan catatan kemaren tak bernoda
adalah sebuah akhir kesilaman
ia makin kumal dalam sesal
dan mutiara itu kugenggam lebih dalam simpuh
dia yang kulafazkan dermaga
adalah sebuah keniscayaan dalam tungguan pasti

Pekanbaru, 2006

II.
Inilah mata yang sebening embun memandang kesetiaan tiada koma tiada jeda di musim yang tak terhitung senyap menggoda sehamparan kisah jadi naïf oleh gerimis di langkan saja hentikan sapa tentang masa lalu menggugat resah yang kita benci di ranjang tak bertuan rindu menjamah malam-malam merajuk hanya karena terbiarnya kasih

Pekanbaru, 2006



Akulah perempuan itu
yang terjepit di julangan Merapi-Singgalang
resah membangkit batang terendam
jengah dibuai angin Sianok
membilang kejahiliyahan di Lubang Jepang dengan kesumat
mencampakkan mimpi di pengap Gua Kamang
Akulah perempuan itu
Pelanjut cendekia rumah bagonjong
Yang bukan minang bukan kabau
Tapi Perempuan Minangkabau
Bukittinggi, 2000

Merapi-Singgalang = nama dua gunung di Ranah Minang
Ngarai Sianok = obyek wisata indah di kota Bukittinggi
Lubang Jepang = lubang peninggalan tentara Jepang yang dijadikan obyek
wisata di kota Bukittinggi
Gua Kamang = sebuah gua obyek wisata di kabupaten Agam, Sumbar
rumah bagonjong = rumah adat Minangkabau mirip seperti tanduk kerbau
Minang = kependekkan dari Minangkabau
kabau = kerbau


Merah yang pias senja ini terhalang
oleh cerca penunggang di perbatasan
slogan kemaren tak lagi rancak bersanding
protes yang lapuk didirus khianat
seorang, ribuan pendusta jadi pahlawan di selembar kertas loakan
sepasang cukup jadi kiblat ; negeri susu yang lahirkan pelacur, pecundang dua musim
bukan, bermusim-musim malah belati mencabik dada
hingga bendera digerek setengah tiang
merah jadi pasi oleh kelam
hitam
masa yang panjang menunggu sang agung
merubah waktu dan keadaan

Jogyakarta, 2004

dirus (Minang) = siram




Ini cuma catatan yang meretas
keluguan mendekap awan terjawab
tanpa tindik pada khayalan terlupa
satu nama paling indah membiru
dusta memburu petualang entah
siapa yang melupakan sebelum pagi terbiar
topeng musim alek nagari bertanya
pada nurani terliar rindu menumpang
sumbang o, mesum kudus yang terlewati enyahlah
kekasih kekal dalam mimpi
mari saling mengingat kenangan menyakiti
hati kita mencariNya.

Pariaman, 1995


alek nagari = pesta rakyat, suatu tradisi di daerah Pariaman, Sumatera Barat
menampilkan aneka kesenian rakyat, selain ajang mencari jodoh
bagi muda-mudi



Bukan seperti ini yang ditunggu, di sandaran kemaren juga terpancang umbul-umbul
bukan pesta yang dimaui oleh sekumpulan capung
tabirnya di telaga atau di awan biru, selipkan pun sepotong bunga pada hamparan hati ; kosong sebuah nama meragu
lama dengan catatan pelangi
Mengapa mesti enggan berjalan di taman yang terlukis di masa kanak
toh, sepadan jua tersakiti masa lalu dengan kemunafikan seorang pacar
Bukan dermaga ini lagi yang jadi soal, lupakan yang terindah dalam hidup
sebatas jalan ini kesakralannya kumal oleh benci tak berujung
maknailah resah pada senyap malam, air mata jadi telaga, jadi awan, jadi bunga
cinta hanya sekali termaklumatkan ; itu yang Dia mau

Mesjid Alun-Alun Bandung, 2003




Sulap sejingga mungkin senja ini
membelakangi mihrab meratapi kekasih
di lorong asing memanggil kesumat
membiarkan waktu merampas kemungkinan
mohon mencicipi resah pada kebenaran
sesaat lalu berpagutan dalam laknat janji
oi, merah pias guratkan di pipi ranum
bidadari di hati mengirap
atas nama cinta kita melukis kitab suci
di pusaran pusara abadi nisan nista tanpa nama
ia bukan pahlawan ; pengkhotbah pesolek
hantu tuhan di hutan hati
doa lampus tanpa makna di sajadah pink
kurinduiMu kurindu

Ponorogo, 1996




Dendamkah engkau pada kekasih
yang melambai dalam kelam, mengimingi rembulan
‘tuk pesta sampai pagi
mencibiri kemeriahan secawan langit
hari jadi pendek karena dosa

“Dia gelapku ; Dia terangku ; datanglah …”

Maninjau, 2005












Biarlah seperti ini
berjauhan melukis waktu tanpa senandung
hadirkan mantra dengan rayuan
segenggam saja meremas kesetiaan tak terkirim
ia berita yang ditunggu, tak jua datang seseorang yang tegak gagah
pada hari lain berpamitan tanpa kesan
Biarlah seperti ini
sepasang merpati terbang menjemput harap
malam-malam panjang tak berkesudahan
tak guna menggugat masa lalu
selesaikanlah lukisan itu wahai penghamba
tentang sendu kasih kesekian.

Batam, 1997




Ingat damai yang terkadokan
di jalan kenangan belati tertancap
dendam pada kering dedaunan
galau melambai saban saat
Ingat dupa yang sangit terbaui
di alam lain menuba iman
benci pada senyuman berkarena
penyamun merubah kitab suci

Tuhan jadi hantu dalam ketaklaziman

Padang, 2001




Pelarian sia-sia, ketika engkau terus memunggungi malam jadi laknat
tidak malam ini saja
engkau piuh keintiman jadi seteru, hai nafsu selumat nafas tiada kekal
bibirmu mengucap kesucian ; sangat jauh
tak tersentuh oleh benderang yang kau temarami
Dia tak pernah lari, tak akan pergi.

Pondok Pesantren Kota Bertuah, 2006










I.
Waktu yang melumuti usia adalah kebengisan dalam cinta tiga keluruhan
Di rumah taklah di bukit jauh, impian terurak sementara
Satu cahaya di tanganmu hai kegaiban terangi bilik-bilik kita yang bersarang laba-laba
cinta hambar timpang
Sajadah seluas dunia menutupi kekeliruan
denganMu kudahaga beria-ia
Malam Pengajian di Kota Bertuah, 2006

II.
Sejauh inikah mencari kearifan
dari pecundang waktu dan hukum kitab suci
hati yang meradang kemudaan segala tanggung
cinta hilang di langit maha luas
tak selaut lagi kesetiaan menunggui sang suci
sang nabi,
segala zaman hiasan pengkhotbah
aku takut kehilangan Engkau.
Malam Pengajian di Kota Bertuah, 2006



Kembang ini yang terkirim kala di puncak tinggi
merahup senyum lelaki
segunung angan jadi pink tak semestinya
mengelabui orang-orang terakrab dengan ikrar tak bertepi
peduli akan dakian lain, seseorang membawa gamang pada riuh sakit hati
teruslah guratkan kenangan di jalan-jalan sedih
di kerlip lampu redup kota yang terlupa
di gerimis mesra masa lalu
berlarian tak bermuhrim
Masihkah akan terus begini, dik ?

Pekanbaru, 2002



Dekaplah aku malam ini
dan tuntaskan cumbu pada sekerat malam
singkirkan bulan pias tak utuh
tubai dosa dengan kasih semaha mungkin
tanpa kata ; tanpa lambaian
Allah.

Pekanbaru, 2001




Sesenyap ini, mengapa mesti menunggu larut
Menujum remang dari misteri langit
Jadilah bintang pada penutup shubuh
Amin.

Pekanbaru, 2001





Selamat malam kejanggalan yang mendakwa
mimpi masa kanak tentang Yusuf-Zulaikha ha hai jauh beda
nama yang tercatat lain di hati
asmara tertahan di sandiwara
resah mengungkitnya pun enggan hoi,
merpati yang tak pernah ingkar
janji ditagih oleh cinta
sumbang sebelum altar senja
yang tak sempat terlukis
tanpa titik
tanpa apa-apa

Pariaman, 1996




Simpan saja kesilaman yang menjerat
mimpi yang terpancung dusta mendakwa
esok berteka-teki
atas nama cinta kita saling melukai

Lepas saja kegairahan yang menyelimuti
musim yang menelikung makna asmara menyungkup
masa depan tak pasti
atas nama kasih kita saling menyakiti.

Bukittinggi, 2004




Inilah kisah
di mata yang jalang
hingga tubuh perempuan terpotong cerita kemasgulan dan kecabulan
mimbar jadi ranjang-ranjang takdir
dimana anak-anak lahir membawa tangkai mawar kering berduri
Inilah kasih
menggeliat bak lintah
hingga menghisap darah teman, tetangga dan saudara
jalan-jalan jadi tempat mesum terbuka
dimana cinta bisa dibeli seharga sarapan pagi
Inilah keluh
orang-orang tolol yang merugi
mengusung bendera putih perdamaian
memasang ditiap pintu rumah, lalu berteriak “akulah pahlawan !”
mengapa kita terus berdiri
di persimpangan jalan lewat para pemimpi
dengan kado kebaikan yang basi
penuh wajah bertanda tanya
Inilah kesah
mencari tumbal kitab suci
dan fatwa pemimpin, ulama yang bertopeng menebar janji dan harapan
memagut surga seraya menyetubuhi kekhilafan
Inilah kutuk
yang dipetik orang-orang kalah, mahkota orang-orang menang
sebagai persembahan sia-sia
bergegas menyambut pulang si anak hilang
lalu mengajak, “ mari berdemo untuk demokrasi !”
Inikah kumpulan orang-orang terbuang penuh kecintaan
membaca berita perang dengan warna terbalik
lalu mengajar para bocah mencintai pelangi
lama, hingga lupa
bahwa pelangi adalah warna-warni belati untuk menikam reformasi
Kasih yang diperebutkan
ada di nirwana di pangkuan malaikat
bukan pada roman-roman lembut yang dihujat dan kekeh perempuan mengajak tidur dalam kesemuan
yang terbaik sendiri terkadang jadi pengkhianat

Gresik, 1999




Sedini mungkin hadir di kaki langit
tersimpan di saku kejenuhan yang memudar
oleh senyum perawan Maryam
usah terlupa oleh kerlip muasal peradaban
padahal engkau tahu kecupan cinta tak pernah usai
Lahirlah lelaki itu menyebarkan kasih sepanjang jalan dusta
petualang atau pecundang ; jangan kau gelari, itu hanya perdebatan kini
dan Engkau tersenyum ke lukisan matahari senjang di dadaku
sebagian semaian Nabi besar bersemi
Engkau tersenyum
pada sepi dipitami hasrat
hitam putih keadaan tak pernah Engkau berlalu.

Pedalaman Riau, 2004


Jangan mencerca sepenggal bulan di tangan
ketika rindu tergaing oleh shubuh
kesucian mencecar tiada henti
demi kejumawaan dosa jadi serpihan
sangat malu menunggu pagi dengan daki kekalahan

Jangan mencaci kekasih yang merubah mimpi
engkau datang dalam sujud, jauh dari nafsu
separuh perempuan telanjang melambaikan kitab suci ; kau lukis itu
engkau robek – dalam mabuk kentara percintaan
atas nama kebenaran kau mencibir

Janganlah begini
Aku datang engkau menjauh
Lelaki lain tegak gagah dari kejauhan
“ia bukan nabi ; tiada yang bersetia abadi !” dengusmu

Kita cemburu pada Tuhan yang sama.

Surabaya, 2005




Membatas keraguan sepanjang malam
dengan dongeng teka-teki
atau mencubit asa lewat cerita masa kanak
berpijar tak tentu, o mata yang merah bertanggang
menandatangani angan-angan
tergaing
dan tersembul simpul
waktupun lewat jadi kenangan.

Danau Buatan, 1997


bertanggang (Minang) = begadang, jaga sampai larut








Kita melebihi para pencinta itu
bukan, malahan tertinggal oleh kasmarannya Qabil-Iqlima
sambil membaca masa lalu dan kini kudatang
tanpa sederet nama lagi
menepis kantuk dan kejengahan
malam-malam jadi akrab, asing dan melelahkan, kekasih

Jadilah penari diantara sepi
yang mengebat gerak jadi isyarat mahfum
bukan pelukis selintas yang melupakan kenangan
merubah hari-hari bersuasana aneh
Jadilah keabadian
dalam kesendirian, kucatat keistimewaan itu
bukan penggoda di kekusyukan, KEKASIH.

Siak Sri Indrapura, 1997




Jangan helat itu yang terbantah kala di persimpangan jalan kita merenung
menukar payung dengan perahu kertas
“kita ‘kan jadi boneka, lalu berlayar bak Columbus !” sorakmu
Gerimispun belum, guruh suguhkan perlambang perempuan jahiliyah
seraya melangkah menghafal doa-doa penolak bala
Jadilah berdansa dengan pangeran yang kematian tunangan
bukan pengkhianatan, kakanda
bila bibir mengecup lukisan yang sebentar lagi luntur disiram hujan
“musim telah berganti, mari mengakhiri petualangan !” ajakku
Masih belum lupa, ketika rumah-rumahan kecil masa kanak kita doyong diganduli pita pink
Potret utuhnya akan kuabadikan bersamamu saatnya nanti.

Pariaman, 1998

doyong (Minang) = condong, hampir roboh




Akankah sanggup saban malam melewati kesepian
dengan mata sulit terpejam
putihnya kafan bersebelahan dengan tawa perempuan malam
ia layar yang terbuka
menunggu pagi dengan denyut timpang
“berdustalah untuk kekasih !” godamu
Ia layar yang tertutup
di mata beningmu tersimpan jadi sejarah
di mataMu lepas tertelanjangi

Pacitan, 2002


rasian (Minang) = mimpi yang menggoda








Bermukim dimanakah keleluasaan kasih
ketika malam bisu dirumiti oleh kealpaan cumbu
bertanggang dengan hasrat tertunda, bukan kakanda
tapi adalah selaksa lukisan kerinduan
di mata beningmu tiada keraguan tentang esok
Aku lelap dalam isak ketulusan
oh, sesejuk adzan guyurilah aku dengan sayang
bukan gairah yang menuntaskan senandung
Aku malu berkaca pada kerelaanmu
Bermukim di ranjang kita semua kemesraan ini, kekasih !

Kota Bidadari, 1997



bertanggang (Minang) = begadang, jaga sampai larut


( saat prahara republik)

Nama yang mana, sesepuh ; mencemari peradaban
dadu yang berputar, perempuan yang menangis dan tertawa
perlambang dewi yang turun jadi penggoda, bukan di semua benua adalah pemimpi
Kita protes tentang matahari, kematian, harapan
Kebenaran yang mana, pahlawan ; merubah sejarah
pengkhotbah yang terpasung, kitab suci jadi novel dan dongeng
Kita lupa tentang pagi, kekasih, masa lalu
Sumpah demi apa, Tuhan ; boneka oleh perjalanan waktu
Tiada titik
Tiada titik

Jakarta, 1998






padahal bukan purnama
demonstran pesta kesangsian
dan orang-orang pulau bernyanyi mengusik cinta
ada yang mabuk serta birahi sepanjang hutan Sipora
mengarak poster log rebah jadi perawan bugil menggoda

padahal bukan waktunya
koran-koran jadi ranjang berderit
memberitakan persetubuhan suka sama suka
merajah undangan jadi lukisan menantang

padahal bukan kerinduan
perantau berkata, pulang !
dan bocah pantai kehilangan gairah main sembunyian

padahal isyarat musim silih berganti keliru dimaknai.
Kepulauan Mentawai, 1996

Sipora = nama satu daerah di Kepulauan Mentawai (Sumbar)
log = kayu bulat yang dipotong berdiameter 30 cm ke atas



Belah diriku di kamar suluk
meniti terengah ‘tuk sekedar berjabat
memuji dan melenguh
Sepi kudus kudialogi
tak ada lagi darah, sebab ia telah pergi untuk menetes
jadi semua untukMu
Biarlah terus kubersila miring, bila beringsut takut
jejakku jadi hitam
Tuhan
Allah

Ponorogo, 1999


(Seharusnya untuk Amira Salsabila Alamsyah dan Kamiliya Zahra Alamsyah)

Inilah kacio yang berukir Iskandar yang Agung
moyang kita tiri oleh tambo dusta
yang bundamu pegang jadi bekal
bukan ‘tuk memenuhkan kekosongan agar malam terus kau panggil bulan
buatlah suluh sendiri
malam kita berlainan karena mata beningmu menabung kesucian yang berlaku dimana-mana
Tak usah sedih menatap lukisan perantau berniaga
ia warisan leluhurmu
Jangan desak bapakmu bercerita, karena ia takut salah
tentang tabuik
tentang pitih panjapauik
tentang peringatan maulud
tentang Anggun Nan Tongga
ukirlah masa depan ranah kita yang tak punya rumah bagonjong
Ha ha, jangan gugat Bundo Kanduang dari desain mami tiri modern di sinetron tak membumi
Cinta penyebabnya membuat kita menujum perpisahan
dari cerita lama negeri asing yang ada di dada
Ah, maafkan kami, Nak
bila istana tak kau jumpai sepanjang debur ombak
telah lama telapak kami geli didakwa pasir
hingga sebatas nisan kakekmu, buyutmu
melingkari impian agar engkau menulis asa kami di hati tetangga
dengan bendera ranji yang tak kau fahami
tulislah sajak, bukan dongeng
Jangan tuntut bundamu menjelaskan, karena ia takut khilaf
tentang palasik
tentang juadah dan sikunyik
tentang cimutu
tentang tanah pusako
jelanglah kebenderangan dari tapal batas ranah kita yang menyempit dihapus waktu
Tak usah berkecil hati bila Gunung Tandikat yang Bunda ceritakan dijepit oleh Singgalang dan Merapi
atau protes bila galembong dan tikuluak hanya pakaian ke sawah
Nak, tolonglah hirup udara pagi di pematang
selapang dada budaya kita membentang, tolong tulis negerimu yang bakal tak ada dalam atlas dunia
Sepanjang sepi terbuang kami mengais catatan tak bertanggal
lamurkan stasiun kereta api tua jadi plaza
Nak, tak usah mendayung lagi, engkau bersisian memegang kembang di titian sampai ke Pulau Angsa Dua
duduk di anjungan tinggi mengharap pinus selebat musim buah
aroma sate bersanding pizza
di pusat kebenaran terbit (Ulakan) seletih berlari mesjid menjulang langit
kita sepedataran dengan orang gunung, orang dari seberang
Jangan paksa bapakmu menerangkan, karena ia takut keliru
tentang indang
tentang rabab
tentang randai
tentang salawat dulang
baliklah hikayat usang Si Joki dan Baheram
jadi lelucon hukum anak cucu
menggandakan jubah Sech Burhanuddin
jadi berjuta-juta pakaian manusia
E … hei, jangan cemoohkan bila tiap simpang, tiap tikungan, mesjid megah lengang tempat berpesta burung gereja
Inilah kampung ayah bundamu
yang rimbun oleh keadaan hingga rajang lapuknya diusung ke museum
Nak, berkacalah ke matahari Timur dan berlarilah jauh
melewati Gunung Tiga, Gunung Selasih
sampai engkau menjabat tangan bidadari dan menyulap Batang Piaman jadi bandar besar
Goreslah diary sendiri
kenangan kita beda makna karena tawa renyahmu menyimpan kejujuran yang makin langka
Tak usah kecewa bila usai makan malam adik lelaki lajangmu tidur di surau
ia mengikuti kebiasaan moyangmu
di rumah kita sekarang, bulan pias tanpa aroma laut
banyak cerita tersangkut di puteri malu pantai
Hingga kepulangan kita terberita,
masih asing bunyi ketipak bendi, bunyi derit roda pedati
Jangan suruh bundamu memberitahu, karena ia takut rancu
tentang Sidi
tentang Sutan
tentang Bagindo
tentang Marah
Sapukanlah cat pink di Kepulauan Pagai hingga nelayan melambai beda bendera
sapukan cat merah hingga ke Tiku
agar di gelanggang pacuan mereka tidak bertepuk untuk kita
sapukan cat hijau terus ke Lubuk Alung
membuat kerabat lewati portal demi portal untuk menikmati kebenderangan
sapukan cat kuning sampai bermil-mil dari Bukit Tambun Tulang
biar anak-anakpun tak sempat merasai bias air terjun Lembah Anai
Nak, yang engkau tahu kini adalah melukis batas baru seirama waktu
tegak di kota kecil dengan hati masgul
dengan kebesaran jiwa bertanda tanya
Bundamu telah terbang bak capung-capung dan hanya hinggap di tanah bersama satu generasi
Engkau rama-rama, terbanglah lepas, lupa sejarah
pancang prasasti baru sebagai anak hilang
yang pandam pekuburan kaummu ada di banyak tempat
di alam terkembang jadi guru engkau menyauk kebenaran
Jangan pinta bapakmu menafsirkan, karena ia takut alpa
tentang gayuang
tentang tinggam
tentang pamanih
tentang pitunang
Hai, jangan menggambar gedung menjulang
dengan jalan melingkar dilewati kuda beban ; engkau akan ditertawakan anak pedalaman yang jarang tamat sekolah
jangan teruskan dengan latar seorang datuak
berdestar naik jaguar memegang bendera sebuah partai
Lukisanmu akan disensor
(ssst, jangan tiru bapakmu, yang dicari parewa, dimarahi RT, dicaci RW, dibenci lurah, diintegorasi polisi dan ditahan)
karena melukis gadis basaluak dikecup bule berkoteka di sebuah tempat wisata
Nak, mestinya kami kadokan padamu layang-layang ketika rindu
terbangkan waktu malam, beri berdanguang-danguang
agar ia membangunkan kekhilafan
dari waktu yang terbiar
cinta membuka buhul daun pintu
menari dan mahfumlah ; bahwa benar Iskandar yang Agung menyetubuhi kejahiliyahan ranah moyangmu
Suruh para perawan mengganti rok mini dengan jilbab dan baju kurung
suruh para lelaki beranjak dari kedai kopi
menukar kartu koa dan remi dengan Al-quran dan sajadah
jadi bayi peradaban baru
Jangan mohon bundamu mengartikan, karena ia takut dusta
tentang cime’eh
tentang badoncek
tentang KIM
tentang Buaian Kaliang
Hei, jangan berang ketika potret Ungku Saliah berdampingan dengan artis seronok di banyak rumah makan
Rindu yang kami punya dua bahasa
lupa bulan melangkah, satu musim untukmu jua keriangan ini
anggap semua orang adalah kerabat bundamu
ketika Shafar berkotbah
di pantai sampai shubuh, orang tua keriput jalang berciuman
menyeru jin membenci
Cuih ! Para remaja mengejar mesum ke Tapian Puti, Lubuk Bonta, Malibou Anai, Pantai Kata, Pantai Artha, Pantai Mutiara ; sampai ke belakang dapur kita
Nak, jangan tutup mata, tutup hidung
melihat Tuangku suluk di depan macu surau tinggal
membaui kemenyan Labai mendoa
ia adalah simfoni temurun zaman
Jangan bujuk bapakmu memaknai, karena ia takut bohong
tentang Ajo
tentang Cik Uniang
tentang Rawang Tikuluak
tentang ikan larangan
Ah, mengapa mencela nama bulan yang dipestai dengan aneka makanan
anak-anak berpita ungu berebut lamang dan sambareh
kemudian menukar alek nagari dengan ultah dan valentine day
Mari menyalami pakiah yang ratik tagak untuk menolak bala
dusta terbang ke langit
menggeser tugu lama jadi berhala
di kerak nasi pagi arwah tetua menggigil dirantai iblis
laut, langit jadi merah gincu
sama menodai dunia yang maha luas melebihi perkiraanmu, Nak
tak cukup lagi sehelai selendang putih ‘tuk menutupi pelacur bugil terbiar sepanjang pantai
bunga di negerimu enggan dibelai mentari
nyiur berubah rukam membelintangi tepian
Nak,
jangan tersinggung,
bila orang cerita moyangmu orang buangan Pagaruyung
jangan bangga,
bila orang cerita moyangmu turunan ulama Tanah Arabia
jangan terhina,
bila orang cerita moyangmu pelarian bajak laut Negeri Campa
jangan tepuk dada,
bila orang cerita moyangmu turunan Raja Persia
yang mesti engkau tahu adalah zaman kini, tegaklah sebagai generasi baru
pancang bendera kita di semua tempat
seluas jagad engkau tumbuh bak kembang
bila orang bertanya, jawab dan sorakkanlah
“Aku orang Pariaman !
Aku orang Pariaman !
Aku orang Pariaman !”

Pariaman, sepanjang 1999-2002

Catatan : semua kata cetak miring umumnya Bahasa Minang
kacio = tabungan, biasa terbuat dari tanah liat atau bambu
Iskandar yg Agung = Alexander the Great raja besar dari Macedonia
tambo = kitab sejarah berisi ranji muasal Minangkabau
tabuik = terbuat dari bambu dan hiasan kertas, refleksi dari prosesi
kematian Husein cucu Rasulullah di Padang Karbala
pitih panjapuik = hantaran saat perkawinan dari keluarga mempelai wanita
peringatan maulud = peringatan saat maulud Nabi Muhammad
Anggun Nan Tongga = cerita rakyat dari Pesisir Barat Sumatera
rumah bagonjong = rumah adat Minangkabau
Bundo Kanduang = ibu tiang rumah tangga
palasik = ilmu hitam menghisap darah anak-anak
juadah dan sikunyik = penganan dan nasi kuning
cimutu = badut yang dibungkusi tubuhnya dengan dedaunan
tanah pusako = tanah tumpah kelahiran, kepemilikan suku/puak
Gunung Tandikat = nama sebuah gunung di perbatasan Pariaman, Sumbar
Singgalang & Merapi = nama dua buah gunung di Bukittingi, Sumbar
galembong = celana pesilat Minang yang longgar
tikuluak = selendang perempuan
plaza = indentik dengan pusat perbelanjaan
Pulau Angsa Dua = nama pulau di perairan Pariaman
sate = sate khas Pariaman berkuah tepung beras
pizza = makanan dari Italia
Ulakan = nama tempat di Pariaman mula Islam masuk
indang = kesenian daerah Pariaman dengan rebana kecil
rabab = kesenian dari Pesisir Barat Sumatera mirip biola
randai = kesenian dari daerah Pariaman
salawat dulang = kesenian di Sumbar sebagai media dakwah Islam
Si Joki dan Baheram = cerita dari Pariaman tentang hukum gantung
Sech Burhanuddin = ulama besar penyebar Islam di Minangkabau
rajang = jembatan gantung
Gunung Tiga = nama gunung di VII Koto, Pariaman, Sumbar
Gunung Selasih = nama gunung di VII Koto, Pariaman, Sumbar
Batang Piaman = sungai yang bermuara di Pariaman, Sumbar
surau = mesjid, langgar
Sidi = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Sutan = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Bagindo = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Marah = gelar yang diwariskan dari ayah di Pariaman, Sumbar
Kepulauan Pagai = Kepulauan Mentawai, sekarang jadi kabupaten sendiri
merah = warna kebesaran bendera pacu kuda untuk daerah Agam
Tiku = nama suatu tempat di perbatasan Pariaman-Agam
Lubuk Alung = nama kota yang ada di Kabupaten Pariaman
Bukit Tambun Tulang = bukit legenda penuh timbunan belulang di Lmbh Anai
Lembah Anai = daerah batas antara Pariaman-Padang Panjang
gayuang = ilmu hitam menciderai lawan dari jarak jauh
tinggam = ilmu hitam yang membunuh lawan dari jarak jauh
pamanih = mantra pesolek
pitunang = mantra pembagus suara
jaguar = merek sebuah mobil mewah
parewa = jagoan dengan kepandaian bersilat dan lain-lain
basaluak = hiasan kepala perempuan mirip tanduk kerbau
danguang-danguang = suara layang-layang terbuat dari pita/akar kayu
koa = kartu ceki untuk berjudi
remi = kartu untuk berjudi
cimeeh = cemooh, ejekan
badoncek = sumbangan langsung
KIM = nyanyian musik tebak angka
Buaian Kaliang = komedi putar tenaga manusia
Ungku Saliah = nama seorang ulama dari VII Koto, Pariaman
Tapian Puti = objek wisata di Lubuk Alung, Pariaman
Lubuak Bonta = objek wisata di Kayu Tanam, Pariaman
Malibou Anai = objek wisata di batas Kayu Tanam-Padang Panjang
Pantai Kata = objek wisata pantai dekat kota Pariaman
Pantai Artha = objek wisata pantai di Sungai Limau, Pariaman
Pantai Mutiara = objek wisata pantai di Tiku batas Pariaman-Agam
Tuangku = gelar keagamaan di Pariaman
Labai = gelar keagamaan di Pariaman
Shafar = bulan kedua tarikh Islam, bulan ibadah di Ulakan
Ajo = panggilan untuk lelaki yang lebih tua, kakak
Cik Uniang = panggilan untuk perempuan yang lebih tua, kakak
Rawang Tikuluak = nama sebuah tempat legenda anak durhaka di VII Koto
ikan larangan = ikan yang tidak boleh ditangkap sesuai mufakat
lamang = lemang
sambareh = kue serabi
alek nagari = pesta rakyat di daerah Pariaman
ultah/valentine day = ulang tahun/hari kasih sayang
pakiah = gelar keagamaan di Pariaman
macu = tonggak tua/besar dari sebuah surau atau mesjid
rukam = kayu berduri
Pagaruyung = nama pusat kerajaan Minangkabau tempo dulu




Jengah diri di pucuk muda
yang terinjak kala sepotong bulan
belum pamit untuk cinta senjang
di mihrab Allah terbalik
memuja sayatan luka
di jalan ini bidadari sendawa
bermain menggelepar
Perbatasan terhapus oleh jejak pendahulu
Hati yang putih melingkari warna puji dan cerca
bangga bergumam di bibir, bersama
sepi menghakimi, sendiri
titik
noda

Lubuk Basung, 1997

tinggam (Minang) = ilmu hitam yang membunuh musuh dari jarak jauh lewat
media tertentu




Gemetarlah kala pesta bertukar
jadi tawa-tawa orang di luar
karena bukan waktunya untuk perjamuan
sebab pagi telah datang
tanggal gemerlap oleh siraman mentari.

Pariaman, 1995


Ajo = sebuah panggilan khas untuk lelaki dewasa atau yang lebih tua di
daerah Pariaman, berarti kakak atau abang



Inikah cinta yang tertera di jalan-jalan
dibubuhi para demonstran dengan lukisan jalang
menghabiskan suara dan berbantah di persimpangan jalan
menari dan tenggelam dibungkus ambisi
melenyapkan cinta ?
dengan menagih demokrasi pada pidato usang
bukan pejuang yang mengais bulan sekerat roti
sama saja, berteriak atau diam menunggu musim berganti
pasti akan terjadi perselingkuhan melahirkan cinta baru
jalan-jalan penuh spanduk dusta
mencari kearifan ?
dengan memuat protes generasi yang lupa sejarah
bukan kaum pinggiran yang mengusung kekalahan

Inikah cinta yang sia-sia ?

Pekanbaru, 1996



Mata-mata yang sendu
adalah mata yang terluka karena waktu
memihak pada kesendirian
panjang dan menikam sudut kota
Mata yang mencari
kebenaran tersembunyi di polusi corong-corong berita
nyanyian panjang yang melelapkan, tiada mimpi yang diperdebatkan bila terjaga
Adalah cinta yang terakhir
diam oleh cercaan koran-koran tak berwarna
Jadi jutaan mata yang menuntut
Jadi jutaan mata yang penurut
oleh munculnya satu mata banyak makna.

Muara Siberut, 1996



Pagi yang tak lagi punya cinta
Pada biduk, pancuran atau nyanyian kampung
Cinta yang jatuh
ke muara serta dilupakan
Matahari bermata dilambaian, kawan
itu penyebabnya
Di Teluk Jakarta bakal tenggelam sajak tua
atau penari Bali melunturkan hiasan di Sanur dan Kuta
Panggillah perawan desa
lupakan saudara yang tersenyum di semua muara
maknai kerinduan ini
pada hasrat muda yang mengajak berkencan
di hotel-hotel dan rumah kontrakan
terlalu kecil untuk menggamit tanganmu
wahai kota-kota penerima kami yang lelah.

Batam, 1995



Badak-badak
Kijang-kijang
pesta layang-layang
sajian ayam-ayam
lezat dalam hore-hore
di malam-malam dusta
badak-badak, kijang-kijang
memotret capung-capung, menghalau anai-anai
larut dalam yel-yel, di hari-hari hampa
Berpeluk-pelukkan, gamang
Bercium-ciuman, pasi
Badak dan kijang
budak yang malang
ditinggalkan mimpi
dikejutkan sepi

Pekanbaru, 1994


pemberita ini telah ada dalam mamang nenek moyang
sebelum kita berselingkuh dengan kekasih yang mewarnai bendera putih di semua benua
pemberita itu,
entah pahlawan atau penipu
duduk semeja dan berdebat tentang kebenaran
memperkenalkan betina-betina kawan bergunjing
ia juga yang mengubah sejarah jadi dongeng
melahirkan pemimpin bijak

sebelum kita tahu makna cinta
petualang itu yang bersuara menghadang bedil
serta membawa perawan lari
entah pembela atau pemerkosa
menulis tentang perjuangan yang lurus
mengalungkan bunga pada penjahat perang
kita yang menyalin kitab tua untuk undang-undang
di negeri merdeka pesta kesewenang-wenangan
menyeru asal kearifan

Di ranjang kitapun ia menunggu penuh nafsu.



Cinta yang meliuk menikam nasib pada sepenggal malam tiada pamit
Terus menyalami waktu dan melukis perawan menengadah di lorong sunyi hati petualang
Memanah bulan sumbing hampir pagi, adalah petak umpet yang engkau ajari pada kumpulan tuan-tuan rakus berkepala tikus, hai tangan kotormu lebih gemulai dari tarian sumbang mereka yang terhormat

Jakarta, 2006




Tidurlah di ranjang kita yang kusut
sebab peluh malu telah kering
cinta membengis dalam ketiadaan
Tidurlah beralaskan koran
sebab kemiskinan hanya topeng sadar
ramah menuba dalam kepapaan
Tidurlah
engkau engkau
aku aku

Jakarta, 2007




Bunda tua, rindumu tersingkap menggoda sunyi
Berbaring lelah mengulang kisah
Sayang engkau tangisi
Tradisi gagah berbingkai resah
yung, pik ; langkahmu tertarung mencibiri janji
menunduk jengah berkawan kesah
kasih engkau renggangi
zaman berubah dan janganlah kalah !

Jakarta, 2007



Bukan berita burung yang terselubung
ketika sepasang merpati ingkar janji
lalu taman-taman jadi tempat berkencan
lelaki bermimpi tentang seorang peri jadi pacar kesekian
kepakkan sayap membelah keangkuhan
O, pengkhianatan yang mencemari berita
separah asmara “Harut dan Marut”
di semua benua burung-burung merindukan bulan
Adakah yang lebih layak daripada perpisahan
setelah sibuk menggugat cinta
mestikah nyanyian kematian memenggal rindu
ketika Dia melebur semua keindahan taman-taman untuk esok
Kita pun jadi terdakwa oleh cinta yang maha luas.

Pedalaman Hutan Riau, 1997



Cinta telah memberi aku belati untuk menusuk
mata, dada dan separuh surga ; jadi karma oleh ludah bidadari yang dijilat kekasih
mendirus matahari dengan senyum hambar perawan
bukan darah yang memercik pantai, ngarai dan gunung
Birahi tak lagi jadi anugerah suci
Cinta telah memberiku kuas untuk melukis
negeri yang hilang dengan perempuan separuh telanjang
menertawakan kaba sambil menggumamkan doa tolak bala
Ranahku sendiri yang telah disetubuhi dongeng Iskandar yang Agung
Cinta telah mengajarkan aku kebohongan, bunda
tentang kedip mata pedagang, gurau dara melepas selendang dan perantau ingkar janji
jadi basi oleh pesta semusim
Memancang bendera putih, itu yang kubenci !
Cinta membuatku jadi pembunuh

Bukittinggi, 1997
mendirus (Minang) = menyiram
kaba (Minang) = dongeng sebelum tidur/cerita rakyat



Biarlah kuwarnai kelabilan “Qabil”
jadi hiasan destar kekasih dalam mimpi
menawar kesetiaan pada capung-capung
Itu dulu !
Di padang pasir ini jejak hapus oleh angin kemalangan
Biarlah,
musim lapukkan dusta Anggun Nan Tongga
di pantai ini ‘kan ku eja makna cinta
Telah lama sekali, ketika prahara berkubur di Pulau Pandan dan Angsa Dua
Jejaka di ranahku, oi janjimu jadi helai rimbun ‘tuk berteduh
Aku tetap ‘kan jadi nelayan di lautmu
mati dicumbu ombak dan pantai

Pariaman, 1997



Dengarlah bunyi jangkrik malam
menyindir keresahan dan sepi
jadi belati
menoreh sekian luka dan nama-nama buram
dari petualangan tak bermakna
Dengarlah,
lengkingannya memenjara ke-aku-an
hingga menutupi jalan-jalan ‘tuk menunggu janji
malam tak lagi bercerita tentang dongeng kasih kudus
Dengarlah, sampai tertidur dan lupa
bahwa senandung jangkrik terjepit oleh kepekatan
Aku pun membunuh jangkrik itu biar pulas, kakanda !

Pedalaman Hutan Riau, 1999




Kasih yang buta menghitung waktu
berbenah mengelabui kenangan
di ujung jalan sepi menunggu pendongeng
Itu dulu, ketika satu musim saja tercatat di buku harian
Cinta yang tiada habis waktu
Ia cuma datang dan tak pernah pergi, kakanda

Pekanbaru, 1998



Aku telah lama bermimpi tentang cinta yang jadi seteru lewat suara pemimpin
lalu menobatkan gelandang jadi ksatria
berdiri di pinggir jalan merayu pejuang jadi penjaja telur busuk
‘tuk melempari slogan-slogan perdamaian
Serak suaraku bersorak mencegah ibu-ibu memesan batu nisan
lalu melahirkan kebencian dan pahlawan baru
anak-anak pun menggoda tentara agar melelang seragam
‘tuk mengibarkan bendera bergambar tengkorak dan bunga kamboja
Aku lelah, bunda
mengasah pedang dan memetik kembang
‘tuk cindera mata di kuburan yang tak terhitung.

Langsa, 2002




Telah berlalu musim yang kau cari
daun-daun kefasikan gugur
dan jalan jadi ditutupi asap kerinduan
O, pertapa cinta yang tersesat
Kembang Mei layu di bulan ini
“menunggu siapa lagi ?” tanyamu
bukankah tetesan embun bercampur debu
tak bisa membasuh daki kedukaan
“Hujan, turunlah !” pintamu
Pemimpi lupa, di luar telah bermekaran bunga
kuning selalu, mengundang kecemburuan kekasih
kita berpelukan damai menikmati kemarau di bilik yang ditinggalkan pendatang
Lelapkan aku dan engkau di tanah bertuan.

Jakarta, 1998




Seperti burung gereja yang hinggap di mihrab mesjid
memberitakan ke-anarkhi-an dan lelucon
pada hari-hari berkabung
oleh kerinduan senjang tentang akherat
Kita memanggil kekasih untuk diri sendiri

Jakarta, 2004




Pelabuhan ini juga yang terakhir
memintas kepulangan
sudah lupa untuk menunggu seseorang
seperti nama kapal yang terhapus karena waktu
Pelabuhan inilah yang senyap oleh sedu-sedan
karena rindu tertegah untuk melambai
tiada guna membawa bunga dan sapu tangan
kita adalah boneka kayu yang mengapung di laut lepas

Di sini kita bersisian pulang meninggalkan masa lalu

Singkarak, 1997



Sepenuhnya kokokan ayam memberitakan ke-anarkhi-an pada tanah yang tergadai jadi sayembara
penari bertopeng menyanyikan lagu kerinduan akan kampung halaman yang hilang
Tanah kelahiran yang dicari kemudian jadi berita pesta bocah-bocah mungil membikin tapal batas di atas kerbau menyerulingkan kebebasan
Ah !
Kemeriahan akan berlangsung tiap orang akan mabuk dengan berpakaian warna-warni
membawa ayam jantan ke gelanggang untuk diadu dan setuju mengubah kokokan jadi tantangan
“Tanah ini mesti diberi darah !” ujar tetua
“Tak cukup hanya darah ayam, darah kerbaupun mesti tertumpah !” pekik parewa.
Ranah ini akan jadi keramat seperti impian penghayal yang menujum nasib di telapak tangan pelanjut generasi memakai mahkota ; cinta akan tumbuh dibatasi oleh sungai, bukit, ngarai atau hutan ; kampung halaman tertebusi oleh cinta, oleh rindu, oleh para gadis kamek yang menatingkan secangkir arak

Pesta tak akan pernah usai, setuju mengorbankan ayam dan kerbau jadi santapan kemudian menertawakan kejumawaan yang perlahan makin surut
Dendang kehilangan makna berubah jadi ceracauan
Doa-doa berubah jadi mantra lalu ditulis dalam jimat-jimat kecil tergantung pada semua badan jadi cap ke-norak-an
O, cinta yang dilumat masa lalu kerinduan jadi basi kala menatap bulan sekerat roti
Dusta jadi koor bersahaja anak-anak manis yang tak ingin kehilangan gengsi
Lahirkan sajak-sajak kosong tentang keindahan, orang-orang di langkan
di bilik sama mengukir kemunafikan ; kiasan jadi rancu arti
“Gelarilah semua pahlawan !” sorak generasi tua
Ibu-ibu muda sama berlomba membesarkan si buah hati cintanya lebih sepenggalah dan legenda Malin Kundang akan berubah rancak menjadi Malin Kandung

Mencari makna yang hilang di prasasti keunikan di tuah yang dipaksakan
Genderang pesta jadi berlain tingkah melambai sepi
Arca berlumut jadi beringin teduh lalu suluh-suluh semakin banyak menerangi dusta
kita kehilangan saat terindah sebab purnama telah menjadi milik semua orang
“Mari berdansa !” ajak gadis-gadis melepaskan kerudung
Ah !
Jalan-jalan kini penuh kegalauan, cinta terjajakan antara gema adzan dengan pesta yang semakin berwarna
Rumah-rumah berpagar ruyung lampus
Perawan menunggu tak lagi di beranda sambil merenda
“Ia telah kehilangan kenikmatan dalam kesenyapan.” gurau jejaka
“Ia besar dengan dongeng-dongeng !” berita tukang khabar

Menangislah para ibu-ibu yang tak lagi bisa berpantun melelapkan bayi
Kecewalah para perantau menatap bulan sumbing oleh kerubutan asap keserakahan
Tertawalah kekasih penggoda yang telah menggusur tempat kencan kita

Mari terus berpesta di musim kering kebanggan ini atas nama kasih kesucian enggan berselingkuh
Ha hai semua pada tersenyum lembut ketika sekumpulan burung gereja hinggap di mihrab mesjid
“Mulai membosankan !” rutuk seorang lelaki sambil membuka galembong lalu bersafari
“Aku jenuh !” keluh kepala suku sambil melepas destar lalu bertopi koboi
“Sama !” cekikik remaja pria sambil menindik telinga lalu bersubang
“Ah uh ha !” seorang haji bereaksi sumbang
“Berbenahlah, seperti kelabang merangkai bilur keteduhan di satu sandaran agung, jauh dari keriuhan masa adalah kita yang kelu menyenandungkan resah tak bertitik pada satu hentian tak pasti, kemarilah sebelum janji jadi ikrar sakral !” pekik pengkhotbah di mimbar tak berbantah
“Malam ini mari berusaha melukis sepi jadi lebih sempurna dari kemaren, sebab cinta beri nuansa pias pada kelam yang tak bertepi, di mata kita yang bening mengucur sajak kasmaran, sia-sia pada penungguan.
Mari berusaha menyanyikan kesetiaan jadi lebih merdu dari yang kemaren, sebab kasih sayang beri warna kelabu pada gelap tak bermuara, di hati kita yang polos mengalir puisi kerinduan, terbiar pada janji, jangan gantung semua tanpa tali !” sambung penyair kurus di tengah gelandangan yang tak terurus

Ahai !
Makin lama makin meriah
Tinggal segaing lagi bumi ‘kan telanjang diperkosa para penari bertopeng
Ohoi !
Orang-orang berlomba memakukan tanduk kerbau pada pohon manggis kesat
Tak bisa sendawa pada kesenggangan birahi tersedak oleh kenaifan sendiri
Terberitakan ada ; terkatakan tidak
Jengah menganyam hari dengan siluet yang membangkitkan hasrat
“Hu doamu sepi membelai kearifan, junjungan kala mantra jadi makbul dan mahkota itu syah melintasi bantahan suara-suara tersayang, mata resah menapaki teka-teki di jalan panjang berkabut, gamang menggeleng diantara cinta ini dan itu, doa parau memanggil kekasih, pendamping ketika hidup pasti di rumah mungil semu terjawab, menunggu suara bocah-bocah manis !” ujar seorang istri dengan isak tertahan
Petualang berdiri limbung lalu menyela dengan kata rayu hampa makna
“Ayo mengitari malam dengan cumbuan ada atau tiada ; sama berpeluh dengan desahan tertahan sampai shubuh melumat sepi dengan maki ; bayang-bayang kita menari sempurna sama dahaga untuk meneguk impian yang terbengkalai ; bergumul di ranjang tak bertuan !”

Pagi akan datang
Debur ombak dan siraman matahari mengagetkan menggugat masa lalu dengan penyelewengan
Tanah ini tak bercela sepanjang berita tapi mengerontang karena disetubuhi pendatang
Orang-orang berlarian merubah citra dan penampilan
menukar pitunang jadi pecundang
merubah pamanih jadi perisih
mengganti tinggam jadi gumam ; berpotret di depan rumah gadang
“Tidaklah sama,” bantah ulama, “antara telanjang para pendatang dengan telanjang anak nelayan di pantai ini !”
“Tapi kami sama telanjang, Buya !” celutuk seorang anak kecil, “bahkan sama bermain ombak dangkal, sama tertawa tanpa busana !”
Itu lain makna

Lorong-lorong sepi menggurat tanya, riuh hening jadi renung
Adalah mata yang masih jujur berkata ; bahwa tanah ini, pesta ini, semuanya ini, masih milik kita
“Hoi, tanah ini masih keramat !” sorak sebagian
Diam
“Masih tuah sekata !” sorak suara itu lagi
“Tidak !” bantah sebagian suara
“Masih !”
“Tidak !”
“Masih !”
“Tidak !”
“Ma …..”
(mari menjawab sendiri di hati, o upik dan si buyung Ranah Minang)

Frankfurt dalam lamunan, 2006

parewa (Minang) = pemuda/jagoan kampung dengan kebiasaan khas
kamek (Minang) = lincah, cantik dan gesit
koor (Inggris) = paduan suara
langkan (Minang) = serambi
galembong (Minang) = celana pesilat Minangkabau
menindik (Minang) = melubangi daun telinga untuk anting-anting
pitunang (Minang) = aneka mantra pembagus suara
pamanih (Minang) = aneka mantra pesolek
tinggam (Minang) = tikaman lewat ilmu ghaib jarak jauh
siluet (Inggris) = bayangan
rumah gadang (Minang) = rumah adat besar Minangkabau




Mengapa mesti bersitegang tentang pemberontak dan pejuang
karena pada setiap cerita ada dalang, marilah pulang
mengapa lelah berbantah, waktu yang lewat sudah
sebab ada akhir dari sebuah kisah, marilah berbenah

Padang, 2009

PRRI = Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

1 komentar: